Selasa, 22 Januari 2013

Filled Under:

FROM CIPUTAT to PARE (Part 1)

20.10



Ciputat, 20 Januari 2012

Langit mulai menampakkan terang kebahagian, kelamnya malam yang membentang mulai sirna seiring terbitnya sang mentari. Cahaya indah nan-lembut dari ufuk Timur menyapa pagiku. Sinar mentari mengintip kamar, sinarnya masuk melalui celah-celah kecil di jendela. Aku terbangun dari tidur pulasku, kasur biru tipis ini menjadi sahabat setiaku di setiap malam.

            Aku mengerak-gerakan kepala ke kanan, ke kiri, sekali, dua kali, sampai rasa pegal di pundakku hilang. Tanganku tak kalah gesit diputar ke sana kemari. Jariku mulai mengucek mata. Sejurus kemudian, mataku menatap setiap pojok ruangan. Tatapanku tertuju pada benda bundar, kecil, berwarna hijau. Benda tersebut laksana hiasan yang memperindah tembok putih polos kontrakan. Tak hanya itu, benda tersebut juga penasehat karibku yang mengajarkan akan pentingnya wakru dan kedisiplinan. Sempat terlintas dipikiran ini, bagaimana jadinya hidup ini tanpa jam dinding dan sejenisnya yang menunjukan waktu. Benda tersebut memberitahukan bahwa waktu menunjukan pukul 05.30, masih ada waktu untuk sholat shubuh, ucapku dalam hati.


            Aku berdiri lalu berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Rasa kantuk tak tertahankan masih mengantui mata kecilku. Sebelum masuk kamar mandi, aku berniat untuk bersuci sebagai syarat sahnya sholat. Air keran ku gunakan untuk membasuh muka ini, segar terasa muka sesaat bersentuhan dengan air, hilang rasa kantuk yang sedari tadi hinggap, lenyap dari pandanganku kemauan untuk tidur lagi. Bahkan, setan yang bergelantungan di mataku loncat dari tempat amannya berlarian ke luar kamar mandi. Hatiku berucap “Al-hamdulillah” aku masih bisa menghirup udara pagi yang indah. Tanganku mulai menari-nari dengan air wudhu, basuhanku kali ini tak hanya tangan, rambut, telinga, dan kaki tak luput dari basuhan. Gigi tak lupa untuk dibersihkan, nafasku terasa segar dan “plong” rasanya.
 
            Sejadah biru ku raih, ku lentangkan menghadap kiblat. Lengan aku singsingkan. Dengan menyebut asma-Nya dan minta nauangan perlindungan-Nya Aku memulai ibadah dengan ucapan “Allahu Akbar”. Dalam doaku, tak hentinya aku memohon kepadanya agar aku, Indra, dan Rahmat, sampai ke Kediri dengan selamat. Tak hanya itu, kedua orang tuaku tak luput dalam panjatanku dan calon bidadariku di sana, di daerah nun-jauh tak terlihat. 
 
            Sapu, alat pel, ember, cingkrak, kemoceng disiapkan. Mereka adalah senjata kami untuk berperang. Perperangan ini bukanlah perperangan melawan penjajah laksana Jendral Sudirman, perperangan ini bukanalah perperangan melawan kaum kafir seperti perjuangan Nabi, perang ini bukanlah perang antara suku di kalimantan. Perang kali ini, adalah perang melawan kuman-kuman yang bergerilya sekitar kamar, yang selalu menertawakan kami siang dan malam, yang selalu senang melihat kamar ini kotor. Senjata telah siap, saatnya menyiapakan peluru berupa superpel, domestos nomos, dan sun light.
Perang dimulai “Teng”, ucap salah satu komandan pasukan.

            Formasi dan strategi yang sedari tadi dirancang dijalankan. Suara perperangan bergaung di seluruh pojok kamar. Jeritan dan teriakan kuman-kuman saling bersautan satu persatu. Mereka pergi menjauh dari kamar, bahkan ada yang mati terkena peluru kami. Sebelum meninggalkan kamar, apalah salahnya kami membersihkan kontrakan. Kamar yang penuh dengan cerita ini adalah saksi bisu perjalanan kami di kampus biru. Tak butuh waktu lama, cukup sepuluh menit saja kami telah memenangkan perperangan. Kemenangan ini disambut oleh seruan Rahmat.

“Ren, beli nasi dah ni, kita makan trus packing. Persiapan harus prima sebelum berangkat,” tandas Rahmat seraya menyodorkan uang berwajahkan Sultam Imam Badaruddin.

“Oce bro, biar aku yang beli di tempat bude,” balasku sambil mengambil pecahan 5000 dari dompet lusuhku.
            Aku berjalan menyusuri jalan Nubala, mataku sibuk menatap rumah dan jalan yang sangat tidak asing lagi bagiku. Jalanan ini begitu akrab dan familiar bagiku. Dalam hatiku aku bergumam “Ah, dalam hitungan beberapa jam lagi, aku akan meninggalkan tempat ini menuju Pare.”

            Sesampainya di warteg, bude menyambut kedatanganku dengan senyum manis mengiasi bibirnya. Umurnya yang tak muda lagi, namun beliau begitu bersahaja dan murah senyum. Hal tersebut menjadikan daya tarik tersendiri bagiku untuk makan berulang kali ke tempat ini. Aku memesan tiga bungkus nasi paket 5000-an, bagiku yang penting rasa lapar dan dahaga bisa lenyap sebelum aku berpergian. Tak butuh waktu lama, nasi yang ku pesan telah berubah bentuk menjadi bungkusan-bungkusan segitiga yang penuh dengan lauk pauk di dalamnya. Sebelum beranjak aku berucap

“Bude pamitnya, saya mau pergi ke Kediri, mau liburan sekalian belajar di sana,” ucap ke pada wanita separuh baya tersebut. 

“Oh ya mase, hati-hati di jalannya,”balas bude.

“Yooo, bude. Makasihnya tuk masakannya,” ucapku.

            Aku pun beranjak meninggalkan warteg ini. Warteg bude aku menamakannya, letaknya yang tak jauh dari tempat pengajian Lentera Hati kepunyaan Prof. Dr. Quraish Syihab menjadikan tempat ini incaran para mahasiswa. Ditambah lagi, harga yang bersahabat bagi mereka, yang tidak mencekik leher dan menipiskan dompet mahasiswa.
 
            Dalam perjalanan pulang menuju kamar, terbesit dipikiranku “Indah sekali persahabatan yang kami jalin, cukup lima belas ribu rupiah kami bisa menghilangkan rasa lapar yang menghantui, kami membagi pekerjaan, aku membeli nasi, ada yang menyiapkan air, menyuci peralatan makan, semuanya dilakukan secara suka rela, semuanya bekerja, semuanya tersenyum. Rasa terima kasih mengalir dari lidah kecilku atas kebersamaan ini.”

            Gerbang kontrakan tersa beda kali ini. Penampilannya tak seperti biasa. Ada aura “wah” yang menghiasi gerbang, mungkin rasa tersebut efek dari kerinduan yang bakal merasukiku seiring menjauhnya aku ke Jawa Timur. Langkah kakiku tetap terpadu menuju kamar, ku naiki tangga kecil kontrakan menuju kamar yang menjadi “surga kecil” bagi kami. Kebersihan kamar menyambut aku setibanya di “surga kecil”. Perperangan yang cukup melelahkan telah terlewati, saatnya menikmati hasil yang cukup memuaskan ini. 

            Ruang kamar terlihat bersih dan rapi. Tas-tas yang akan kami bawa tersusun rapi di pojokan kamar. Buku-buku di rak berjejer sempurna dan selalu siap untuk di baca kapanpun. Pakaian yang bergelantungan di depan kamar telah rapi. Sampah-sampah yang meyebar pada setiap pojok kamar tlah hilang dari pandangan mata. Semuanya indah untuk dinikmati. “Ayok makan bro, nasi dah datang, kita harus cepat ke Stasiun Senen. Takutnya macet di jalanan,”ucap Rahmat seraya mengajak kami untuk mendekat. Tangan mulai sibuk membuka bungkusan demi bungkusan, kami kumpulkan ketiga nasi di atas dua bungkus alas nasi. Lauk di sebarkan ke seluruh penjuru nasi. Sebelum memulai “perang kedua” kami membaca doa gar kelak makanan ini menjadi barokah dan bermanfaat.”Teng” suara bel berbunyi, tanda makan telah dimulai, tangan kami mulai menari-nari di atas nasi, peyek, sayur, dan sambel yang melengkapi makanan.   

            Tak butuh waktu lama, cukup empat menit saja semua nasi dan lauknya telah tersapu bersih tak bersisa. Nasi dan lauk yang barusan “mengunung-gunung”, hilang sekejap dalam pandangan kami. Rasa lapar yang menghampiri badan hilang dan berubah menjadi rasa kenyang yang tiada tara. Selesai makan, tak lupa kami bersyukur atas nikmat pagi ini dan membereskan sisa-sisa “perang kedua” tadi. Setelah beres-beres, kami juga minum segelas dan dua gelas air putih untuk melengkapi makan kali ini.

 

0 komentar:

Posting Komentar