Selasa, 22 Januari 2013

Filled Under:

FROM CIPUTAT to PARE ( Part 2)

23.00


Ciputat, 20 September 2013


               Siang mulai terik. Di balik bilik kamar aku merasakan setetes panas sang mentari. Cahaya mulai panas, panas tersebut membuat keringat sedikit bercucuran. Cucurannya ibarat hujan yang turun rintik-rintik. Perperangan pertama dan kedua telah usai, kami memenangkan perperangan tersebut. Sesuai perperangan kami harus bersiap-siap mencari kendaraan menuju Stasiun Senen. Jam dinding menunjukan pukul 11.00, kami menjinjing tas yang dipikul dibelakang pundak.

            Perjalanan kami menuju jalan ir.H. Juanda menggunakan kuda hitam. Kuda ini kepemilikan Shirajul Ilmi, kuda berkelamin Honda tersebut bernama Tiger. “Kuda biru”ku tidak kelihatan di pelantaran parkir kontrakan, ia telah aku titipkan kepada sahabat karibku Iqbal Fadli. Hanya “kuda hitam” yang akan mengantarkan kami menuju jalan besar, kuda ini badannya besar dan tangguh, warna hitam membuatnya terlihat gagah di antara banyak kuda-kuda sejenis. Namun sayangnya kuda tersebut, memiliki lampu depan yang besar sebelah, jika diibaratkan ia seperti orang gagah yang memiliki mata besar sebelah, sedangkan mata yang lain kecil.

            Shirojul mengantarkan kami satu persatu menuju jalan besar. Aku orang pertama yang diantarkan, ku jinjing tas dorong dan ku gantungkan sebuah tas kamera di leher. Tas dorong berisikan beberapa pakaian untuk berlibur, adapun tas kamera, ku isi dengan kamera yang akan mendokumentasikan seluruh kegiatan di Pare. Berjalan aku bersama Shirojul menyisiri jalanan Kertamukti, jalan yang kelak akan ku tinggal beberapa saat untuk berlibur. Jalan yang selalu penuh sesak dengan aktifitas perkuliahan. Namun, kali ini tak tampak mahasiswa yang lalu lalang, warung makanan pun tak seramai biasa, tukang photocopy hanya duduk-duduk manis sambil menunggu pesanan pelanggan. Ku menatap parkiran di kampus dua, parkiran kali ini tak sepadat dulu, aku harus bersusah payah untuk memparkir motor, “kuda biru” ku musti mengitari tempat parkir beberapa kali demi menemukan pemberhentian yang sesuai dan nyaman bagi “kuda biru” ku.

            Semua keramaian, hiruk pikuk, dan semangat kuliah telah berubah. Para mahasiswa berduyun-duyun meninggalkan Ciputat, ada yang balik ke rumah, ada yang pergi ke rumah saudaranya, dan ada juga yang berliburan ke daerah tertentu. Segala kegiatan tersebut mereka lakukan untuk menghabiskan liburan yang lumayan panjang, satu bulan lebih. Namun, tidak semuanya pulang ke Ciputat, ada saja mereka yang bergelut dengan kegiatan kampus, sibuk mempersiapakannya semaksimal mungkin. Ada juga yang bekerja di sekitar Jakarta, dengan harapan dapat menambah uang saku atau sekedar meringgankan beban orang tua. Jujur, aku salut kepada orang yang terakhir, smoga Allah memudahkan langkah mereka.

            Tak butuh waktu lama untuk tiba di gerbang masuk kampus satu, cukup tiga menit saja. Aku berdiri gagah di sana, di bawah pintu masuk kampus biru ini, di pinggiran Ibu Kota, di tepi Jalan ir. H. Juanda. Kegagahan dan kesigapanku harus kalah oleh sinar mentari yang mulai menjilat-jilat kulit sawo matangku. Aku menyerah, aku jinjing tas tersebut menuju pojokan gerbang. Gerbang kampus kali ini tutup, aktivitas mahasiswapun seakan mati dengan ditutupnya pintu masuk. Aku berteduh di bawah bayangan gerbang, bayangan tersebut cukup menjagaku dari panasnya sang mentari. Sambil menunggu aku menatap keadaan sekelilingku, tatapanku tertuju pada sebuah papan pengumuman di belakang kantor security gerbang masuk. Papan pengumuman tersebut sangat besar, ia dilapisi banner yang juga sama besar, ukurannya kira-kira 3X8 meter. Tertulis dengan jelas di banner tersebut, panduan mahasiswa untuk emndapatkan beasiswa. Sejenak akau menatap dalam-dalam pengumuman tersebut, mataku tertuju pada satu tulisan “Beasiswa Dipa”, badanku seketika menjadi ringan, beban di kepala seakan loncat kesana kemari, aku bergumam dalam hariku “Aku pasti bisa mendapatkan beasiswa tersebut, aku akan berjuang untuk itu, Yes I will keep fight for it.”

            Jelang delapan menit setelah aku berteduh, Indra dan Rahmat pun datang menghampiriku dengan tas masing-masing yang menghiasi tubuh mereka. Setelah semuanya lengkap di depan gerbang, aku memulai percakapan 

“Mas bro, kita ke Senen pake apa ni?” tandasku.

“Pake bus gede no.67 klo gak salah,” saut Rahmat menjawab.

“Yang mana bro? Setahu gau mah adanya Kopaja, itu pun ke Kampung Rambutan sama Tanah Abang,” ucapku.

“Tau ni tullah, emang lu pernah pke bus tersebut?” Indra tak mau kalah ikut berkicau.

“Pernah, udah tunggu aja sebentar, lima belas menit lagilah. Tar juga ada bus lewat. Busnya tuh ada iklannya yang banyak, kayak banner berjalan gituloh bro,” balas Rahmat membela.

            Sepintas terbayang di dunia imajinasiku, bus gede dengan iklan besar yang memenuhi setiap ujung bus laksana banner yang berjalan di panasnya Ibu Kota. Sambil menunggu, kami mengotak atik handphone masing-masing, sekedar mengirim pesan bagi dambaan hati mereka masing-masing. Tapi, aku kepada siapa aku mengirimnya? Pertanyaan bodoh yang tak perlu jawaban, aku berpikir bahwa aku masih memiliki orang tua, ku kirim sebuah pesan bertuliskan : “Ma, abang dah mau pergi ke Stasiun, mau ninggalkan Ciputat | Doainnya selamat sampe tujuannya.”

“Eh, tuh datang busnya,” kata Indra seraya menunjuk bus gede yang berjarak 300 meter dari tempat kami berdiri.

            Shirojul pun tanggap melambai-lambaikan tangan sebagai isyarat bahwa kami menghendaki bus tersebut berhenti. Bus tersebut berhenti, seperti ciri-ciri yang disebutkan Rahamat. Bus ini besar dengan iklan yang menyeluruh pada bagian tubuhnya. Warnanya abu-abu dengan list biru memperindah dirinya, tapi keindahan tersebut harus terkikis oleh iklan. Pada bagian depan bus, terlihat tulisan Ciputat- St. Senen 67. Pak supir cekatan memperlambat bus dan berhenti tepat di depan gerbang UIN. Kami berpamitan sama Shirojul, tas yang sedari tadi berbaring di atas tanah pun kami rangkul dan kemudian di jinjing menuju bus. Sambil melambaikan tangan aku mengucapkan selamat jalan pada Shiro dan Ciputat.

            Bus abu-abu ini tidak begitu padat, masih tersisa beberapa kursi kosong tak berpenghuni. Kaki kami melangkah menuju barisan terakhir, tas di selipkan di bawah kursi. Sejurus kemudian kami bersandar meregangkan otot-otot, sebelum menempuh perjanan panjang. Pak supir menginjak gas, bus pun berjalan sekali lagi menyisiri jalanan ir.H. Juanda. Sambil jalan seorang lelaki separuh baya datang menghampiri kami, ia menggerak-gerakkan tangannya yang berisi uang recehan. Koin-koin bertabrakan di dalam genggaman tangannya, menimbulkan suara yang agak mengganguku yang mulai sibuk dengan lantunan musik tersalur dari handphoneku. Rupanya suara itu adalah tanda, sang kenet meminta kami untuk membayar 6000 rupiah sebagai ongkos perjalanan.

            Bus ini tak memiliki AC layaknya mobil mewah, tak ada televisi untuk di tonton, tak ada musik yang mengiringi perjalanan, dan sedihnya lagi tak ada pesan singkat yang masuk berisikan “hati-hati di jalannya.” Lagi-lagi wanita tersebut terpintas dipikiranku, apa yang menyebabkan aku memikirkannya? Siapa yang membuatku menaruh hati padanya? Apa gerangan yang membuat dirinya begitu spesial bagiku? Bagaimana cara mengatur rasa ini? Akhhh.... aku pusing dengan beribu soal mengenai dirinya. Soal ini bahkan lebih sulit dari ujian akhir KMI yang ku lalui dua tahun yang lalu.  Lantunan lagu terus mengiringiku dalam kebingungan yang tiada tara hingga suatu ketika sebuah lagu terdengar di telinggaku :

Tuhan tolong aku ingin dirinya
Rindu padanya, memikirkannya
Namun, mengapa saat jatuh cinta
Sayang-sayang dia ada yang punya
(Merindu lagi – Yovie & Nuno)
            Mataku sayu dalam gundah gelisah ini, aku terlelap di bawah gedung-gedung pencakar langit yang seakan menertawaiku. Dalam tidurku, aku hanya berharap aku segera sampai Stasiun Senen, lalu aku tertidur lagi kemudian aku sudah di Kediri. Tiba-tiba sebuah suara masuk ke telingga kecilku
“Woi bangun...!! Udah sampe terminal Senen, ucap suara yang tak asing bagiku.” Sambil tangannya mengoyang-goyangakn bahuku.
            Mataku terbuka, ku lihat sosok Rahmat, orang yang mengucapkan suara tersebut. Tanganku mulai sibuk mengambil tas sembari menghilangkan muka orang yang baru bangun tidur . Aku lihat suasana sekelilingku, tak salah lagi ini adalah terminal Senen.

0 komentar:

Posting Komentar