Ciputat, 20 September 2013
Siang mulai terik. Di balik bilik kamar aku
merasakan setetes panas sang mentari. Cahaya mulai panas, panas tersebut
membuat keringat sedikit bercucuran. Cucurannya ibarat hujan yang turun
rintik-rintik. Perperangan pertama dan kedua telah usai, kami memenangkan
perperangan tersebut. Sesuai perperangan kami harus bersiap-siap mencari
kendaraan menuju Stasiun Senen. Jam dinding menunjukan pukul 11.00, kami
menjinjing tas yang dipikul dibelakang pundak.
Perjalanan
kami menuju jalan ir.H. Juanda menggunakan kuda hitam. Kuda ini kepemilikan
Shirajul Ilmi, kuda berkelamin Honda tersebut bernama Tiger. “Kuda biru”ku
tidak kelihatan di pelantaran parkir kontrakan, ia telah aku titipkan kepada
sahabat karibku Iqbal Fadli. Hanya “kuda hitam” yang akan mengantarkan kami
menuju jalan besar, kuda ini badannya besar dan tangguh, warna hitam membuatnya
terlihat gagah di antara banyak kuda-kuda sejenis. Namun sayangnya kuda
tersebut, memiliki lampu depan yang besar sebelah, jika diibaratkan ia seperti
orang gagah yang memiliki mata besar sebelah, sedangkan mata yang lain kecil.
Shirojul
mengantarkan kami satu persatu menuju jalan besar. Aku orang pertama yang
diantarkan, ku jinjing tas dorong dan ku gantungkan sebuah tas kamera di leher.
Tas dorong berisikan beberapa pakaian untuk berlibur, adapun tas kamera, ku isi
dengan kamera yang akan mendokumentasikan seluruh kegiatan di Pare. Berjalan
aku bersama Shirojul menyisiri jalanan Kertamukti, jalan yang kelak akan ku
tinggal beberapa saat untuk berlibur. Jalan yang selalu penuh sesak dengan
aktifitas perkuliahan. Namun, kali ini tak tampak mahasiswa yang lalu lalang,
warung makanan pun tak seramai biasa, tukang photocopy hanya duduk-duduk manis
sambil menunggu pesanan pelanggan. Ku menatap parkiran di kampus dua, parkiran
kali ini tak sepadat dulu, aku harus bersusah payah untuk memparkir motor,
“kuda biru” ku musti mengitari tempat parkir beberapa kali demi menemukan
pemberhentian yang sesuai dan nyaman bagi “kuda biru” ku.
Semua
keramaian, hiruk pikuk, dan semangat kuliah telah berubah. Para mahasiswa
berduyun-duyun meninggalkan Ciputat, ada yang balik ke rumah, ada yang pergi ke
rumah saudaranya, dan ada juga yang berliburan ke daerah tertentu. Segala
kegiatan tersebut mereka lakukan untuk menghabiskan liburan yang lumayan panjang,
satu bulan lebih. Namun, tidak semuanya pulang ke Ciputat, ada saja mereka yang
bergelut dengan kegiatan kampus, sibuk mempersiapakannya semaksimal mungkin.
Ada juga yang bekerja di sekitar Jakarta, dengan harapan dapat menambah uang
saku atau sekedar meringgankan beban orang tua. Jujur, aku salut kepada orang
yang terakhir, smoga Allah memudahkan langkah mereka.
Tak
butuh waktu lama untuk tiba di gerbang masuk kampus satu, cukup tiga menit
saja. Aku berdiri gagah di sana, di bawah pintu masuk kampus biru ini, di
pinggiran Ibu Kota, di tepi Jalan ir. H. Juanda. Kegagahan dan kesigapanku
harus kalah oleh sinar mentari yang mulai menjilat-jilat kulit sawo matangku.
Aku menyerah, aku jinjing tas tersebut menuju pojokan gerbang. Gerbang kampus
kali ini tutup, aktivitas mahasiswapun seakan mati dengan ditutupnya pintu
masuk. Aku berteduh di bawah bayangan gerbang, bayangan tersebut cukup
menjagaku dari panasnya sang mentari. Sambil menunggu aku menatap keadaan
sekelilingku, tatapanku tertuju pada sebuah papan pengumuman di belakang kantor
security gerbang masuk. Papan pengumuman tersebut sangat besar, ia dilapisi
banner yang juga sama besar, ukurannya kira-kira 3X8 meter. Tertulis dengan
jelas di banner tersebut, panduan mahasiswa untuk emndapatkan beasiswa. Sejenak
akau menatap dalam-dalam pengumuman tersebut, mataku tertuju pada satu tulisan
“Beasiswa Dipa”, badanku seketika menjadi ringan, beban di kepala seakan loncat
kesana kemari, aku bergumam dalam hariku “Aku pasti bisa mendapatkan beasiswa
tersebut, aku akan berjuang untuk itu, Yes I will keep fight for it.”
Jelang
delapan menit setelah aku berteduh, Indra dan Rahmat pun datang menghampiriku
dengan tas masing-masing yang menghiasi tubuh mereka. Setelah semuanya lengkap
di depan gerbang, aku memulai percakapan
“Mas bro, kita ke Senen pake apa ni?” tandasku.
“Pake bus gede no.67 klo gak salah,” saut
Rahmat menjawab.
“Yang mana bro? Setahu gau mah adanya Kopaja,
itu pun ke Kampung Rambutan sama Tanah Abang,” ucapku.
“Tau ni tullah, emang lu pernah pke bus tersebut?”
Indra tak mau kalah ikut berkicau.
“Pernah, udah tunggu aja sebentar, lima belas
menit lagilah. Tar juga ada bus lewat. Busnya tuh ada iklannya yang banyak,
kayak banner berjalan gituloh bro,” balas Rahmat membela.
Sepintas
terbayang di dunia imajinasiku, bus gede dengan iklan besar yang memenuhi
setiap ujung bus laksana banner yang berjalan di panasnya Ibu Kota. Sambil
menunggu, kami mengotak atik handphone masing-masing, sekedar mengirim pesan
bagi dambaan hati mereka masing-masing. Tapi, aku kepada siapa aku mengirimnya?
Pertanyaan bodoh yang tak perlu jawaban, aku berpikir bahwa aku masih memiliki
orang tua, ku kirim sebuah pesan bertuliskan : “Ma, abang dah mau pergi ke
Stasiun, mau ninggalkan Ciputat | Doainnya selamat sampe tujuannya.”
“Eh, tuh datang busnya,” kata Indra seraya menunjuk
bus gede yang berjarak 300 meter dari tempat kami berdiri.
Shirojul
pun tanggap melambai-lambaikan tangan sebagai isyarat bahwa kami menghendaki
bus tersebut berhenti. Bus tersebut berhenti, seperti ciri-ciri yang disebutkan
Rahamat. Bus ini besar dengan iklan yang menyeluruh pada bagian tubuhnya.
Warnanya abu-abu dengan list biru memperindah dirinya, tapi keindahan tersebut
harus terkikis oleh iklan. Pada bagian depan bus, terlihat tulisan Ciputat- St.
Senen 67. Pak supir cekatan memperlambat bus dan berhenti tepat di depan
gerbang UIN. Kami berpamitan sama Shirojul, tas yang sedari tadi berbaring di
atas tanah pun kami rangkul dan kemudian di jinjing menuju bus. Sambil
melambaikan tangan aku mengucapkan selamat jalan pada Shiro dan Ciputat.
Bus
abu-abu ini tidak begitu padat, masih tersisa beberapa kursi kosong tak
berpenghuni. Kaki kami melangkah menuju barisan terakhir, tas di selipkan di
bawah kursi. Sejurus kemudian kami bersandar meregangkan otot-otot, sebelum
menempuh perjanan panjang. Pak supir menginjak gas, bus pun berjalan sekali
lagi menyisiri jalanan ir.H. Juanda. Sambil jalan seorang lelaki separuh baya
datang menghampiri kami, ia menggerak-gerakkan tangannya yang berisi uang
recehan. Koin-koin bertabrakan di dalam genggaman tangannya, menimbulkan suara
yang agak mengganguku yang mulai sibuk dengan lantunan musik tersalur dari
handphoneku. Rupanya suara itu adalah tanda, sang kenet meminta kami untuk membayar
6000 rupiah sebagai ongkos perjalanan.
Bus
ini tak memiliki AC layaknya mobil mewah, tak ada televisi untuk di tonton, tak
ada musik yang mengiringi perjalanan, dan sedihnya lagi tak ada pesan singkat
yang masuk berisikan “hati-hati di jalannya.” Lagi-lagi wanita tersebut
terpintas dipikiranku, apa yang menyebabkan aku memikirkannya? Siapa yang
membuatku menaruh hati padanya? Apa gerangan yang membuat dirinya begitu
spesial bagiku? Bagaimana cara mengatur rasa ini? Akhhh.... aku pusing dengan
beribu soal mengenai dirinya. Soal ini bahkan lebih sulit dari ujian akhir KMI
yang ku lalui dua tahun yang lalu.
Lantunan lagu terus mengiringiku dalam kebingungan yang tiada tara
hingga suatu ketika sebuah lagu terdengar di telinggaku :
Tuhan
tolong aku ingin dirinya
Rindu
padanya, memikirkannya
Namun,
mengapa saat jatuh cinta
Sayang-sayang
dia ada yang punya
(Merindu lagi – Yovie & Nuno)
Mataku sayu dalam gundah gelisah ini,
aku terlelap di bawah gedung-gedung pencakar langit yang seakan menertawaiku.
Dalam tidurku, aku hanya berharap aku segera sampai Stasiun Senen, lalu aku
tertidur lagi kemudian aku sudah di Kediri. Tiba-tiba sebuah suara masuk ke
telingga kecilku
“Woi
bangun...!! Udah sampe terminal Senen, ucap suara yang tak asing bagiku.” Sambil
tangannya mengoyang-goyangakn bahuku.
Mataku terbuka, ku lihat sosok
Rahmat, orang yang mengucapkan suara tersebut. Tanganku mulai sibuk mengambil
tas sembari menghilangkan muka orang yang baru bangun tidur . Aku lihat suasana
sekelilingku, tak salah lagi ini adalah terminal Senen.
0 komentar:
Posting Komentar