sumber : truthaholics.wordpress.com
Semenjak berakhirnya perang dingin dan
runtuhnya Uni Soviet menyebabkan beralihnya masalah pertentangan blok Barat, blok
Timur dan komunisme, ke masalah hak asasi manusia. Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat internasional tak lepas dari gelombang isu hak asasi manusia
yang melanda dunia, maka penting untuk membahas HAM dalam prespektif Negara
Kestuan Republik Indonesia (NKRI).
Isu tentang HAM mencuat dimulai dari diskusi PBB menghasilkan beberapa piagam penting antara lain
Deklarasi Universal HAM (1948), dua perjanjian yakni Konvenan Internasional Hak
Sipil dan Politik dan Konvenan Internasional Ekonomi Sosial Budaya (1966),
serta Deklarasi Wina (1993). Deklarasi wina sebagai bentuk tercapainya
konsensus antar negara barat dan non-barat bahwa HAM bersifat universal,
walaupun terjadi perbedaan dalam implementasinya sesuai dengan ciri khas
negaranya.
Sebenarnya masalah hak asasi manusia bukanlah merupakan masalah
baru dalam sejarah manusia. Jauh sebelum Magna Charta, di dunia islam
terlebih dahulu ada suatu piagam tentang HAM yang dikenal dengan “Piagam
Madinah” di Madinah pada tahun 622, yang memberikan jaminan perlindungan hak
asasi manusia bagi penduduk Madinah yang terdiri atas beragam suku dan agama.
Sehubungan HAM pertama kali merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa HAM tidak bersumber
dari negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta
alam semesta. Fungsi negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan jaminan
perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut. Telah dijelaskan diatas bahwa
hak asasi manusia bersifat tidak universal, dalam arti ada perbedaan dan tidak harus
sama di mana saja dan kapan saja. Sebab, dalam pandangan agama dan negara
terdapat beberapa nilai yang saling bertentangan.
Menurut H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil, Ph.D dalam bukunya “Islam,
HAM, dan Kebebasan Beragama” bertentangan nilai agama dan HAM disebabkan
perspektif manusia Barat telah terbentuk oleh doktrin humanisme. Sehingga
terjadi pengeseran dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia, mereka
menganggap manusia lebih penting dari agama dan sikap manusia lebih mulia
daripada sikap religius. Humanisme dianggap anti agama, sebaliknya agama
dituduh anti kemanusiaan.
Jadi saya berpendapat bahwa
memaknai konteks hak asasi dan kebebasan harus dimaknai menurut pandangan agama
dan negara-negara masing-masing tanpa ada ketentuan mutlak. Hal ini disebabkan
yang mengajarkan dan memperkenalkan HAM berasal dari Tuhan melalui ajaran
agama. Jadi tidak boleh ada pemaksaan sebuah negara harus menjalankan hak asasi
sesuai dengan dekralasi DUNHAM, karena pemaksaan telah melanggar hak asasi dan
kebebesan itu sendiri. Adapun fungsi negara ketika HAM bertentangan dengan
agama adalah mengatur dan mendamaikan dengan lembaga-lembaga resmi agama
tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar