sumber : republika.co.id
Hal
yang penting untuk dibahas dalam negara adalah hubungan negara dengan agama.
Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dan demokrasi sebagai sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh Indonesia akhir-akhir ini sering digoyang dan
dicela oleh pihak-pihak tertentu. Mereka para pencela beranggapan bahwa nilai
Islam, nilai Pancasila dan demokrasi tidak sejalan. Padahal sistem demokrasi
dan Pancasila merupakan konsensus para founding father yang telah
membicarakan hal ini pada masa lampau, maka hendaknya kita harus belajar
sejarah Indonesia agar dapat memadukan nilai Islam, nilai Pancasila dan
demokrasi agar sejalan.
Berbicara
tentang Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Ini hanya karena
alasan statistik, demografis, dan sosiologis baru. Umat Islam adalah mayoritas
di Indonesia. Karena itu, menurut Nurcholish Majid, setiap visi tentang
Indonesia, pada dasarnya adalah visi tentang Islam Indonesia[1].
Dari pemikirannya, dapat disimpulkan ketika membahas Indonesia maka secara tak
langsung kita juga harus membahas Islam di Indonesia. Maka dari itu mempelajari
nilai Islam sangat penting, untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara seperti
yang di cita-citakan oleh founding father. Oleh karena itu, para ulama, tokoh agama, cendekiawan muslim,
dan organisasi massa Islam memiliki peran penting dalam menyosialisasikan nilai
Islam dan nilai Pancasila agar tidak terjadi salah penafsiran tentang
keduanya, bahwa tidak ada pertentangan
antara Islam dan Pancasila.
Hal
ini dapat dilihat dari sila pertama Pancasila itu sendiri. Ketuhanan tidak
diletakkan sebagai sila kelima sebagaimana diuslukan Soekarno, tetapi sebagai
sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan ini kemudian dikoreksi dalam sidang PPKI,
tujuh kata tersebut diganti oleh “Ketuhanan”. Namun, Ki Bagus Hadikoesomo,
salah seorang tokoh Muhammadiyah yang juga merupakan anggota BPUPKI dan PPKI,
menambahkan beberapa kata menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Perubahan teks ini
dimaksudkan agar negara Indonesia tetap menjadi negara bertuhan dan tidak
menjadi negara sekular[2].
Maka, dalam kehidupan bernegara ditolak pengingkaran terhadap Ke Tuhanan Yang
Maha Esa, paham atheisme, dan sekularisme[3].
Namun, negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan agama yang diakui pemerintah.
Sedangkan pada sila-sila selanjutnya juga tidak ada pertetangan dengan nilai Islam.
Sama
permasalahannya dengan Pancasila, demokrasi juga kerap dicerca dan dihujat oleh
kelompok-kelompok tertentu. Hal ini disebabkan lantaran bergulirnya era
Reformasi korupsi malah kian marak terjadi di kalangan pemerintah, ditambah
lagi para wakil rakyat terkesan menjadikan jabatannya sebagai alat legitimasi
untuk memaksa kehendak mereka[4].
Didasarkan pada hal-hal tersebut, maka timbul lagi permasalahan yang sama
ketika founding father merumuskan sistem pemerintahan Indonesia,
Benarkah langkah kita dalam proses demokratisasi sekarang? Apakah sistem
perpolitikan Islam sesuai dengan demokrasi?
Sebagian
orang membenarkan sistem demokrasi tidak hanya karena prinsip syura
(musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma’ (konsensus).
Pendapat ini dikemukakan oleh pakar ilmu politik R. William Liddle dan Saiful
Mujani[5]. Adapun menurut pandangan Nurcholis Majid,
pidato Abu Bakar sesaat setelah dirinya diangkat menjadi khalifah mengambarkan
sebuah “kekuasaan konstitusional” bukan mutlak perorangan dan unsur strukturak
politik Islam klasik merupakan sistem perpolitikan yang sangat modern[6].
Pemilihan khalifah zaman khulafaur-r-rasyidin merupakan contoh sistem pemilihan
yang demokratis berdasarkan musyawarah. Maka, sistem perpolitikan Indonesia
sudah benar mengunakan demokrasi, hanya dalam beberapa hal berbeda dengan
sistem politik Islam. Perbedaan ini disebabkan, demokrasi dikembangkan di Barat
maka ia terkesan bertentangan dengan Islam, padahal nilai yang digunakan sama.
Perbedaan
yang paling jelas adalah dalam penetapan hukum, manusia sebagai makhluk yang
dilengkapi dengan akal terkadang untuk menentukan baik dan buruknya suatu hukum
terkesan relatif dan dinamis tergantung dimensi tempat dan waktu. Contohnya,
konstitusi negara kita Undang-Undang Dasar 1945 terus diamandemen, karena
peraturan yang pertama kali dibuat bisa tidak sesuai pada waktu yang akan
datang, maka akal manusia dalam penetapan hukum ada batasannya. Sedangkan yang
berhak membuat hukum adalah Allah, karena Sang Pencipta mengetahui apa yang
tidak diketahui makhluknya[7].
Hal ini sesuai dengan firman-Nya : “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah” (TQS
Yusuf [12]: 40) Islam adalah agama yang kaffah (sempurna) mengatur semua aspek
kehidupan manusia tidak hanya mengatur urusan iman dan ibadah, maka dari itu
sebagai muslim harus memakai segala ketentuan sesuai yang Allah tentukan.
Dalam
prakteknya, Indonesia bukan sebagai negara agama dan negara sekuler tidak
mungkin menetapkan Al-Quran dan hadits sebagai landasan hukumnya, maka syariah Islam
di jadikan dasar hukum positif. Mereka para founding father telah
memberikan landasan yang kokoh bagi suatu bangsa besar yang multietnik, multi agama,
ribuan pulau, dan kaya sumber daya alam yaitu Pancasila sebagai ideologi negara
dan demokrasi sebagai sistemnya. Pancasila berfungsi sebagai titik pertemuan
atau nukthatul liqo’ dari kesadaran bersama[8].
Tentang konsekuensi akan adanya perdebatan sepanjang masa tentang status
Indonesia yang mengunakan paradigma simbiotik telah dipikirkan oleh founding
father kita. Maka, inilah demokrasi Indonesia hasil perkawinan antara barat
dengan timur. Oleh karena itu, para tokoh agama dan ormas Islam memiliki andil
yang besar dalam memberi pemahaman tentang pentingnya mengedepankan kepentingan
bersama dari pada kepentingan mayoritas dengan cara meneliti sejarah lahirnya
Pancasila dan demokrasi, serta menyosialisasikan nilai untuk menghargai
perbedaan demi kemaslahatan bersama. Semoga Indonesia menjadi makmur, dan dapat
dicontoh oleh negara-negara berkembang lainnya. Allahuma Amiin.
Sumber Bacaan
Al-Quranul Kariim.
Ali As’ad Said. 2009. Negara
Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.
Ubaedillah Ahmad dan Rozak
Abdul. 2010. Pancasila, demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Cetakan
kelima. Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Siauw Felix. 2010. Beyond
The Inspiration. Jakarta : Khalifah Press
Madjid Nurcholish. 1999. Cita-Cita
Politik Islam Era Reformasi. Jakarta : Penerbit Paramadina.
S. Pamudji. 1985. Demokrasi
Pancasila dan Ketahanan Nasional. Jakarta : PT. BINA AKSARA.
[1]
Nurcholish Majid, “Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi” (Jakarta, Paramadina
1999), h.xv
[2]
As’ad Said Ali, “Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa” (Jakarta,
Pustaka LP3ES 2009), h.119
[3]
Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, “ Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional”
(Jakarta, PT. BINA AKSARA 1985), h.8
[4]
Felix Siauw, “Beyond The Inspiration” ( Jakarta, Khalifah Press 2010), h.
[5]A.
Ubaedillah & Abdul Razak, “Pancasila, Demokrasi, Ham, dan Masyarakat
Madani” (Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah 2010), h.87
[6]
Nurcholish Majid, “Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi” (Jakarta, Paramadina
1999), h.xxiv
[7] Felix
Siauw, “Beyond The Inspiration” ( Jakarta, Khalifah Press 2010), h.
[8] As’ad
Said Ali, “Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa” (Jakarta, Pustaka
LP3ES 2009), h. viii
0 komentar:
Posting Komentar