Senin, 19 November 2012

Filled Under:

ISLAM, NILAI PANCASILA, DAN DEMOKRASI

08.00




sumber : republika.co.id

Hal yang penting untuk dibahas dalam negara adalah hubungan negara dengan agama. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Indonesia akhir-akhir ini sering digoyang dan dicela oleh pihak-pihak tertentu. Mereka para pencela beranggapan bahwa nilai Islam, nilai Pancasila dan demokrasi tidak sejalan. Padahal sistem demokrasi dan Pancasila merupakan konsensus para founding father yang telah membicarakan hal ini pada masa lampau, maka hendaknya kita harus belajar sejarah Indonesia agar dapat memadukan nilai Islam, nilai Pancasila dan demokrasi agar sejalan.

Berbicara tentang Indonesia adalah berbicara tentang Islam di Indonesia. Ini hanya karena alasan statistik, demografis, dan sosiologis baru. Umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Karena itu, menurut Nurcholish Majid, setiap visi tentang Indonesia, pada dasarnya adalah visi tentang Islam Indonesia[1]. Dari pemikirannya, dapat disimpulkan ketika membahas Indonesia maka secara tak langsung kita juga harus membahas Islam di Indonesia. Maka dari itu mempelajari nilai Islam sangat penting, untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang di cita-citakan oleh founding father. Oleh karena itu,  para ulama, tokoh agama, cendekiawan muslim, dan organisasi massa Islam memiliki peran penting dalam menyosialisasikan nilai Islam dan nilai Pancasila agar tidak terjadi salah penafsiran tentang keduanya,  bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila.

Hal ini dapat dilihat dari sila pertama Pancasila itu sendiri. Ketuhanan tidak diletakkan sebagai sila kelima sebagaimana diuslukan Soekarno, tetapi sebagai sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan ini kemudian dikoreksi dalam sidang PPKI, tujuh kata tersebut diganti oleh “Ketuhanan”. Namun, Ki Bagus Hadikoesomo, salah seorang tokoh Muhammadiyah yang juga merupakan anggota BPUPKI dan PPKI, menambahkan beberapa kata menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Perubahan teks ini dimaksudkan agar negara Indonesia tetap menjadi negara bertuhan dan tidak menjadi negara sekular[2]. Maka, dalam kehidupan bernegara ditolak pengingkaran terhadap Ke Tuhanan Yang Maha Esa, paham atheisme, dan sekularisme[3]. Namun, negara  menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan agama yang diakui pemerintah. Sedangkan pada sila-sila selanjutnya juga tidak ada pertetangan dengan nilai Islam.

Sama permasalahannya dengan Pancasila, demokrasi juga kerap dicerca dan dihujat oleh kelompok-kelompok tertentu. Hal ini disebabkan lantaran bergulirnya era Reformasi korupsi malah kian marak terjadi di kalangan pemerintah, ditambah lagi para wakil rakyat terkesan menjadikan jabatannya sebagai alat legitimasi untuk memaksa kehendak mereka[4]. Didasarkan pada hal-hal tersebut, maka timbul lagi permasalahan yang sama ketika founding father merumuskan sistem pemerintahan Indonesia, Benarkah langkah kita dalam proses demokratisasi sekarang? Apakah sistem perpolitikan Islam sesuai dengan demokrasi?

Sebagian orang membenarkan sistem demokrasi tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma’ (konsensus). Pendapat ini dikemukakan oleh pakar ilmu politik R. William Liddle dan Saiful Mujani[5].  Adapun menurut pandangan Nurcholis Majid, pidato Abu Bakar sesaat setelah dirinya diangkat menjadi khalifah mengambarkan sebuah “kekuasaan konstitusional” bukan mutlak perorangan dan unsur strukturak politik Islam klasik merupakan sistem perpolitikan yang sangat modern[6]. Pemilihan khalifah zaman khulafaur-r-rasyidin merupakan contoh sistem pemilihan yang demokratis berdasarkan musyawarah. Maka, sistem perpolitikan Indonesia sudah benar mengunakan demokrasi, hanya dalam beberapa hal berbeda dengan sistem politik Islam. Perbedaan ini disebabkan, demokrasi dikembangkan di Barat maka ia terkesan bertentangan dengan Islam, padahal nilai yang digunakan  sama.

Perbedaan yang paling jelas adalah dalam penetapan hukum, manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan akal terkadang untuk menentukan baik dan buruknya suatu hukum terkesan relatif dan dinamis tergantung dimensi tempat dan waktu. Contohnya, konstitusi negara kita Undang-Undang Dasar 1945 terus diamandemen, karena peraturan yang pertama kali dibuat bisa tidak sesuai pada waktu yang akan datang, maka akal manusia dalam penetapan hukum ada batasannya. Sedangkan yang berhak membuat hukum adalah Allah, karena Sang Pencipta mengetahui apa yang tidak diketahui makhluknya[7]. Hal ini sesuai dengan firman-Nya : Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah” (TQS Yusuf [12]: 40) Islam adalah agama yang kaffah (sempurna) mengatur semua aspek kehidupan manusia tidak hanya mengatur urusan iman dan ibadah, maka dari itu sebagai muslim harus memakai segala ketentuan sesuai yang Allah tentukan.

Dalam prakteknya, Indonesia bukan sebagai negara agama dan negara sekuler tidak mungkin menetapkan Al-Quran dan hadits sebagai landasan hukumnya, maka syariah Islam di jadikan dasar hukum positif. Mereka para founding father telah memberikan landasan yang kokoh bagi suatu bangsa besar yang multietnik, multi agama, ribuan pulau, dan kaya sumber daya alam yaitu Pancasila sebagai ideologi negara dan demokrasi sebagai sistemnya. Pancasila berfungsi sebagai titik pertemuan atau nukthatul liqo’ dari kesadaran bersama[8]. Tentang konsekuensi akan adanya perdebatan sepanjang masa tentang status Indonesia yang mengunakan paradigma simbiotik telah dipikirkan oleh founding father kita. Maka, inilah demokrasi Indonesia hasil perkawinan antara barat dengan timur. Oleh karena itu, para tokoh agama dan ormas Islam memiliki andil yang besar dalam memberi pemahaman tentang pentingnya mengedepankan kepentingan bersama dari pada kepentingan mayoritas dengan cara meneliti sejarah lahirnya Pancasila dan demokrasi, serta menyosialisasikan nilai untuk menghargai perbedaan demi kemaslahatan bersama. Semoga Indonesia menjadi makmur, dan dapat dicontoh oleh negara-negara berkembang lainnya. Allahuma Amiin.

Sumber Bacaan
Al-Quranul Kariim.
Ali As’ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.
Ubaedillah Ahmad dan Rozak Abdul. 2010. Pancasila, demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Cetakan kelima. Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Siauw Felix. 2010. Beyond The Inspiration. Jakarta : Khalifah Press
Madjid Nurcholish. 1999. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta : Penerbit Paramadina.
S. Pamudji. 1985. Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional. Jakarta : PT. BINA AKSARA.





[1] Nurcholish Majid, “Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi” (Jakarta, Paramadina 1999), h.xv
[2] As’ad Said Ali, “Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa” (Jakarta, Pustaka LP3ES 2009), h.119
[3] Prof. Drs. S. Pamudji, MPA, “ Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional” (Jakarta, PT. BINA AKSARA 1985), h.8
[4] Felix Siauw, “Beyond The Inspiration” ( Jakarta, Khalifah Press 2010), h.
[5]A. Ubaedillah & Abdul Razak, “Pancasila, Demokrasi, Ham, dan Masyarakat Madani” (Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah 2010), h.87
[6] Nurcholish Majid, “Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi” (Jakarta, Paramadina 1999), h.xxiv
[7] Felix Siauw, “Beyond The Inspiration” ( Jakarta, Khalifah Press 2010), h.
[8] As’ad Said Ali, “Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa” (Jakarta, Pustaka LP3ES 2009), h. viii

0 komentar:

Posting Komentar