Jumat, 02 November 2012

Filled Under:

AKSIKU

08.39



Sang raja siang telah duduk setengah kokoh di singgasananya, ia mulai menyinari sinar ultra violet ke seluruh pelosok dunia. Sinarnya menembus kaca-kaca tipis di kelas berbentuk 4 meter X 12 meter. Langit terlihat cerah dengan warna biru ditemani awan berbentuk benua-benua  asing tempatku berkelana kelak. Kelas ini sesak oleh bangku dan mahasiswa, hanya terdapat sedikit ruang lapang di belakangnya. Cat putih menghiasi tembok kelas. Tembok berbahan asbes yang ampuh untuk meredam kerasnya suara di kelas. Suara dosen pagi ini menusuk sebuah semangat ke sanubariku. Beliau berucap “Apabila ada diantara kalian yang menulis artikel atau apapun di salah satu media, maka saya akan memberi nilai A baginya dan kelonggaran untuk masuk kelas atau tidak.” Sebuah harapan yang ingin kurealisasikan suatu saat nanti. Pagi ini Bu Rahmi memberi kami tugas yang banyak summary, review, dan critical review. Semua tugas tersebut dikumpulkan dua minggu kemudian.

Hari kamis adalah hari kuliah teringan bagi kelas kami, hanya satu pelajaran dalam sehari. Siang ini aku memiliki sebuah acara, aksi di pengadilan negeri Tangerang untuk menyuarakan keadilan atas kasus yang menimpa kakak kami Izzun (Almh). Sesuai pelajaran, aku kembali ke kontrakan untuk mengambil almameter biruku. Almameter yang kubanggakan, yang kuperjuangkan untuk mendapatkannya, meskipun tidak seperti yang kuharapkan, tapi aku bersyukur dengan kampusku sekarang Alhamdulillah Tuhan masih memberiku kesempatan kuliah. Semoga Tuhan memberikan kesempatan yang sama kepada teman-temanku.

Aksi kali ini merupakan aksiku ketiga selama dua bulan kuliah, entah sampai kapan aku akan terus mengikuti aksi-aksi selanjutnya, tapi apapun itu asalkan aku tidak dimobilisasi, aku mengerti arti dari aksi ini, aku paham apa yang kuperjuangkan dan aku berusaha menyampaikan aspirasi rakyat. Miris hati ini melihat sifat apatis mahasiswa sekarang, sebagian besar mereka acuh tak acuh akan keadaan masyarakat. Padahal mereka adalah penyambung lidah rakyat, mereka agent of change, mereka calon pemimpin bangsa ini, dan mereka perantara antara kelas atas para pemimpin dan kelas bawah rakyat Indonesia. Sifat apatis ini sepertinya bentukan dari system perkuliahan Indonesia, pemerintah dan rektorat sengaja memperketat perkuliahan contohnya seperti : untuk mengikuti UTS dan UAS harus menghadiri 75% perkuliahan, syarat droup out (DO) yang makin diperketat,dan seabrek sistem lainnya. Mungkin hal ini dilaksanakan karena pemerintah takut akan semangat pemuda yang didominasi mahasiswa, buktinya mahasiswa berhasil menggulingkan rezim Soeharto dengan gelombang semangat yang membara. Semoga sifat apatis mahasiswa terkikis sedikit demi sedikit dengan keadaan bangsa yang semakin hari semakin memprihatinkan.

Sang surya hampir duduk sempurna di singgasananya, terik cahayanya menyinari segala penjuru bumi. Lobby kampus tampak penuh dengan kicauan para mahasiswa, ada yang bermain laptop, mengerjakan tugas, bercanda ria, belajar bersama, bahkan memakan bekal yang jauh-jauh dibawa dari rumah. Dari kejauhan tampak sebuah bus mini bewarna biru bertuliskan UIN Syarif Hidayatullah, bus kecil yang dapat menampung sekita 30-an orang ini tampak bersih ketika pertama kali datang. Satu persatu atribut aksi dinaikan, ada hal yang berbeda kali ini, kami menyiapkan teaterikal sambil beraksi layaknya para actor di atas panggung.

Waktu menunjukan pukul 11.30 aku dan “my patner in crime” (Habibi) berdiri di samping bus sembari menyiapkan perlengkapan untuk mencari keadilan buat kakak kami. Para sukarelawan yang hendak ikut aksi naik ke bus biru, mereka mencari duduk yang enak sambil sibuk mengatur kipas kecil agar tepat mengarah ke badannya. Ketika kami telah duduk tenang, pak sopir membuka pintu bus, ia menghidupkan mesin agar kami bisa sesegera mungkin meluncur ke pengadilan negeri.

Bus biru ini berjalan menyusuri keindahan bangunan ibu kota, melewati jalan tol nan panjang. Kemacetan kota ini selalu kutemui, ia dan permasalahan lainnya sulit terpisahkan oleh Jakarta. Aku berharap di bawah kepemimpinan Gubernur Jakarta yang baru, permasalahan ini bisa sedikit dikurangi agar tak bertumpuk dan semakin kompleks. Pada perjalananku kali ini aku sedikit merasa kesal, perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh satu jam lebih menjadi tiga jam-an. Sebenarnya tujuan kita ke Pengadilan Negeri Tangerang, tapi tah kenapa yang dituju malah Pengadilan Agama. Siapa yang salah? Aku pun tak mengerti, mungkin ada miss comunicatoin antara si penujuk arah dengan supir. Aku berkata “Hadeuhh”, mungkin kata ini bisa mengambarkan keadaan kesalku yang luar biasa, seandainya tak terjadi miss communication mungkin waktuku akan lebih efisien ketimbang habis di dalam perjalanan.

Tanpa terasa tiba juga kami di tempat tujuan, tuk kedua kalinya aku datang ke tempat ini, tapi dengan adanya teaterikalisasi serasa aku mendapatkan suntikan semangat. Para actor telah berdandan di dalam bus, sebelum mereka tiba. Badan mereka di cat dengan pakaian tahanan, putih-hitam seperti warna zebra cross di jalan-jalan. Tak terkecuali muka mereka, sungguh pemandangan yang indah tuk menyaksikan penampilan mereka. Sesampainya di tempat tujuan, kami mengenakan atribut masing-masing, ada yang membawa spanduk, membawa senjatanya malaikat, dan membawa microphone bewarna putih. Aksi dimulai dengan orasi Habibi di depan pintu masuk, setelah pak satpam mengizinkan kami mengadakan orasi di dalam, kami berjalan ke depan pengadilan. Berikut dokumentasi yang berhasil aku abadikan :  

SUASANA AKSI DI DEPAN PENGADILAN

HUKUM MATI HARGA MATI

HUKUM MEREKA SEADIL-ADILNYA

AANG SEDANG BERAKSI

KAMI DATNG MENCARI KEBENARAN

HABIBI SEDANG BERORAKSI

BEBERAPA HAL YANG AKU HARAPKAN
SEMOGA PAK HAKIM DAPAT MEMBERIKAN HUKUMAN SEADIL-ADILNYA DAN AGAR KASUS INI TAK TERJADI DI KEMUDIAN HARI.

0 komentar:

Posting Komentar