Sang
raja siang telah duduk setengah kokoh di singgasananya, ia mulai menyinari
sinar ultra violet ke seluruh pelosok dunia. Sinarnya menembus kaca-kaca tipis
di kelas berbentuk 4 meter X 12 meter. Langit terlihat cerah dengan warna biru
ditemani awan berbentuk benua-benua
asing tempatku berkelana kelak. Kelas ini sesak oleh bangku dan
mahasiswa, hanya terdapat sedikit ruang lapang di belakangnya. Cat putih
menghiasi tembok kelas. Tembok berbahan asbes yang ampuh untuk meredam kerasnya
suara di kelas. Suara dosen pagi ini menusuk sebuah semangat ke sanubariku.
Beliau berucap “Apabila ada diantara kalian yang menulis artikel atau apapun di
salah satu media, maka saya akan memberi nilai A baginya dan kelonggaran untuk
masuk kelas atau tidak.” Sebuah harapan yang ingin kurealisasikan suatu saat nanti.
Pagi ini Bu Rahmi memberi kami tugas yang banyak summary, review, dan critical review.
Semua tugas tersebut dikumpulkan dua minggu kemudian.
Hari
kamis adalah hari kuliah teringan bagi kelas kami, hanya satu pelajaran dalam
sehari. Siang ini aku memiliki sebuah acara, aksi di pengadilan negeri Tangerang
untuk menyuarakan keadilan atas kasus yang menimpa kakak kami Izzun (Almh).
Sesuai pelajaran, aku kembali ke kontrakan untuk mengambil almameter biruku. Almameter
yang kubanggakan, yang kuperjuangkan untuk mendapatkannya, meskipun tidak
seperti yang kuharapkan, tapi aku bersyukur dengan kampusku sekarang
Alhamdulillah Tuhan masih memberiku kesempatan kuliah. Semoga Tuhan memberikan
kesempatan yang sama kepada teman-temanku.
Aksi
kali ini merupakan aksiku ketiga selama dua bulan kuliah, entah sampai kapan
aku akan terus mengikuti aksi-aksi selanjutnya, tapi apapun itu asalkan aku
tidak dimobilisasi, aku mengerti arti dari aksi ini, aku paham apa yang
kuperjuangkan dan aku berusaha menyampaikan aspirasi rakyat. Miris hati ini melihat
sifat apatis mahasiswa sekarang, sebagian besar mereka acuh tak acuh akan
keadaan masyarakat. Padahal mereka adalah penyambung lidah rakyat, mereka agent
of change, mereka calon pemimpin bangsa ini, dan mereka perantara antara kelas
atas para pemimpin dan kelas bawah rakyat Indonesia. Sifat apatis ini
sepertinya bentukan dari system perkuliahan Indonesia, pemerintah dan rektorat
sengaja memperketat perkuliahan contohnya seperti : untuk mengikuti UTS dan UAS
harus menghadiri 75% perkuliahan, syarat droup out (DO) yang makin diperketat,dan
seabrek sistem lainnya. Mungkin hal ini dilaksanakan karena pemerintah takut
akan semangat pemuda yang didominasi mahasiswa, buktinya mahasiswa berhasil
menggulingkan rezim Soeharto dengan gelombang semangat yang membara. Semoga
sifat apatis mahasiswa terkikis sedikit demi sedikit dengan keadaan bangsa yang
semakin hari semakin memprihatinkan.
Sang
surya hampir duduk sempurna di singgasananya, terik cahayanya menyinari segala
penjuru bumi. Lobby kampus tampak penuh dengan kicauan para mahasiswa, ada yang
bermain laptop, mengerjakan tugas, bercanda ria, belajar bersama, bahkan memakan
bekal yang jauh-jauh dibawa dari rumah. Dari kejauhan tampak sebuah bus mini
bewarna biru bertuliskan UIN Syarif Hidayatullah, bus kecil yang dapat
menampung sekita 30-an orang ini tampak bersih ketika pertama kali datang. Satu
persatu atribut aksi dinaikan, ada hal yang berbeda kali ini, kami
menyiapkan teaterikal sambil beraksi layaknya para actor di atas panggung.
Waktu
menunjukan pukul 11.30 aku dan “my patner in crime” (Habibi) berdiri di samping
bus sembari menyiapkan perlengkapan untuk mencari keadilan buat kakak kami.
Para sukarelawan yang hendak ikut aksi naik ke bus biru, mereka mencari duduk
yang enak sambil sibuk mengatur kipas kecil agar tepat mengarah ke badannya.
Ketika kami telah duduk tenang, pak sopir membuka pintu bus, ia menghidupkan
mesin agar kami bisa sesegera mungkin meluncur ke pengadilan negeri.
Bus
biru ini berjalan menyusuri keindahan bangunan ibu kota, melewati jalan tol nan
panjang. Kemacetan kota ini selalu kutemui, ia dan permasalahan lainnya sulit
terpisahkan oleh Jakarta. Aku berharap di bawah kepemimpinan Gubernur Jakarta
yang baru, permasalahan ini bisa sedikit dikurangi agar tak bertumpuk dan
semakin kompleks. Pada perjalananku kali ini aku sedikit merasa kesal,
perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh satu jam lebih menjadi tiga jam-an.
Sebenarnya tujuan kita ke Pengadilan Negeri Tangerang, tapi tah kenapa yang
dituju malah Pengadilan Agama. Siapa yang salah? Aku pun tak mengerti, mungkin
ada miss comunicatoin antara si penujuk arah dengan supir. Aku berkata “Hadeuhh”,
mungkin kata ini bisa mengambarkan keadaan kesalku yang luar biasa, seandainya
tak terjadi miss communication mungkin waktuku akan lebih efisien
ketimbang habis di dalam perjalanan.
Tanpa
terasa tiba juga kami di tempat tujuan, tuk kedua kalinya aku datang ke tempat
ini, tapi dengan adanya teaterikalisasi serasa aku mendapatkan suntikan
semangat. Para actor telah berdandan di dalam bus, sebelum mereka tiba. Badan
mereka di cat dengan pakaian tahanan, putih-hitam seperti warna zebra cross
di jalan-jalan. Tak terkecuali muka mereka, sungguh pemandangan yang indah tuk
menyaksikan penampilan mereka. Sesampainya di tempat tujuan, kami mengenakan
atribut masing-masing, ada yang membawa spanduk, membawa senjatanya malaikat,
dan membawa microphone bewarna putih. Aksi dimulai dengan orasi Habibi di depan
pintu masuk, setelah pak satpam mengizinkan kami mengadakan orasi di dalam,
kami berjalan ke depan pengadilan. Berikut dokumentasi yang berhasil aku
abadikan :
SUASANA AKSI DI DEPAN PENGADILAN
HUKUM MATI HARGA MATI
HUKUM MEREKA SEADIL-ADILNYA
AANG SEDANG BERAKSI
KAMI DATNG MENCARI KEBENARAN
HABIBI SEDANG BERORAKSI
BEBERAPA HAL YANG AKU
HARAPKAN
SEMOGA PAK HAKIM DAPAT
MEMBERIKAN HUKUMAN SEADIL-ADILNYA DAN AGAR KASUS INI TAK TERJADI DI KEMUDIAN
HARI.
0 komentar:
Posting Komentar