sumber : konsolidasidemokrasiindonesia.blogspot.com
Sumber: Yudi Latif, Demokrasi Tanpa Kedalaman,Koran Kompas, Selasa, 16 April 2013
Demokrasi
merupakan salah satu sistem politik yang berkembang pesat di belahan dunia pada
akhir abad ke–19.Demokrasi sendiri lahir di Yunani yang dalam etimologi
merupakan bentukan dari kata demos
(rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan).
Definisi demokrasi yaitu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi
terletak di tangan rakyat, dan dipilih wakil rakyat untuk menjalankan pemerintahan
adapun pemilu dilaksanakan secara langsung dan bebas.
Indonesia
sendiri menganut demokrasi Pancasila, yang menggunakan beberapa nilai pokok
dari demokrasi konstitusional. Hal ini tercantum jelas dalam Undang- Undang
Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas
hukum, dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Selanjutnya, dijelaskan
pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi tidak bersifat absolutisme.[1]
Setelah
melewati beberapa fase perjalanan demokrasi, Indonesia memasuki fase reformasi.
Sebuah babak baru di mana pemerintah menghargai kebebasan individu, hak asasi
manusia dijunjung tinggi, dan mekanisme perpolitikan berkembang pesat. Namun
dalam perkembangannya, demokrasi Indonesia jauh dari orientasi yang hendak
dicapai. Kenegatifan ini disebabkan krisis etika dan penalaran aktor politik
Indonesia.
B.
Rangkuman
Demokrasi beradab
berdiri di atas sendi hukum (nomokrasi) yang dalam pelaksanaannya mengedepankan
etika (nilai moral), sehingga supremasi hukum dapat berlangsung. Jika demokrasi
tanpa nomokrasi, menyebabkan hanya permasalahan kecil yang tampak, sedangkan
permasalahan utama yang menyangkut dan merugikan negara hilang tanpa jejak.
Contohnya perbuatan Presiden dan Wakil Presiden dalam megaskandal BLBI dan Bank
Century, mereka berdua tampak santun dalam beretiket namun sebenarnya melanggar
etika hukum.
Kedangkalan dan
pelanggaran ini mengakibatkan subtansi keadilan mudah terjebak dalam
proses-proses transaksional. Hukum yang ditransaksi ini, menyebabkan
ketidakpastian hukum, yang menimbulkan ketidakpecayaan rakyat terhadap aparatur
hukum. Semua ini berakibat maraknya anarki dan tirani akhir-akhir ini. Kasus
penyerbuan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, DI Yogjakarta
merupakan salah satunya.
Belum lagi, perjalanan
demokrasi Indonesia yang telah memenuhi sisi negatif dari poliarki yang dipikikan
oleh Aristoteles. Menurut Dahl, poliarki adalah sistem di mana kekuasaan selalu berputar di kalangan elit, tanpa
memberi kesempatan kepada semua orang untuk berkompetisi dalam perebutan kekuasaan.
Poliarki disebabkan karena para elitlah yang memiliki sumber daya, bermula dari perekrutan kepemimpinan politik
yang lebih mengedepankan sumber daya alokatif ketimbang kemampuan.
Krisis ini diperparah
krisis penalaran rakyat Indonesia. Kecacatan amandemen, Undang-Undang,
konstitusi, menjadi indikator turunya kualitas nalar publik. Para politisi
mulai jarang yang bekerja independen dan
dapat mengunakan nalar secara jernih dan mendalam.
Tanpa kekuatan etika
dan nalar publik, Benjamin barber menujukan demokrasi yang terbenam dalam
lautan uang. Adapun cara yang dilaksanakan untuk menghilangakan peran warga
negara dalam berdemokrasi adalah kekuatan kapitalis mengkerdilakan konsumen,
pengentifikasikan orang melalui merek barang, dan mengkhususkan warga negara sehingga
“aku” lebih prioritas dibandingkan”kita”.Maka, seyogyanya Indonesia harus
memiliki levensinhouddan levensrichting, memiliki isi hidup dan
arah hidup sehingga menjadi bangsa yang dalam tidak dangkal.
C.
Evaluasi
Analisa Yudi Latif berjudul Demokrasi Tanpa
Kedalaman merupakan sebuah analisa yang patut diapresiasi. Ia menganalisa sebab
pelbagai permasalahan demokrasi bangsa yang akhir-akhir ini menghujam Ibu pertiwi. Penulis sangat kompeten dalam
menyajikan analisanya, diperkuat dengan argumen pakar politik dari Aristoteles,
Frank Furedi, dan Benjamin Barber. Khalayak umum sebagai target sasaran analisa
dapat dituju, pesan-pesan yang disampaikan tersurat dalam tulisannya, sehingga
mampu merekontruksi sebuah pemikiran tentang keadaan demokrasi Indonesia.
Tak hanya itu, ia juga menyampaikan contoh dan
data yang akurat dan lugas. Kata-kata yang digunakan santun dengan mengunakan
konotasi yang baik. Dalam penulisannya, kritik dan hujatan disampaikan secara
santun terhadap tingkah laku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Budieono. Menurutnya, keduanya hanya mengedepankan etiket ketimbang
etika, berprilaku dan betutur santun lagi sopan, seakan-akan membangun pandangan
bahwa keduanya adalah penegak tonggak demokrasi yang diharapkan para founding
fathers, namun sejatinya keduanya malah meninggalkan etika dan membunuh
inti dari demokrasi konstitusional dengan lemah dan rapuhnya pelaksanan supremasi
hukum.
Tersurat disampaikan olehnya, bahwa pemimpin
kita tidak dapat dijadikan contoh yang baik, sehingga berakibat terhadap
hilangnya public trustdan timbulnya “hukum rimba” dalam menghakimi sebuah kasus. Seharusnya, pemegang
kekuasaan mengutamakan persamaan dalam hukum sehingga tidak perlu ada pembedaan
dalam forum keadilan serta mampu melindungi dan menjamin berjalannya hukum yang
adil. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yang bunyinya: segala
warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[2]
Penulisan analisis ini tidak berdiri tegak
sempurna, namun memiliki kerapuhan dan celah untuk dikritisi. Kerapuhan itu
terlihat jelas dari solusi yang disampaikan olehnya, ia mengutip perkataan
Presiden Soekarno agar bangsa Indonesia memiliki isi hidup dan arah hidup.
Padahal dari pembahasan ia menekankan lemahnya etika dan nalar publik, kutipan
yang disajikankurang cocok, sehingga solusi agak kabur tidak sesuai dengan
penyebab kedangkalan demokrasi kita. Seharusnya, penulis memaparkan solusi yang
dapat mengkikis dan menghancurkan karak kuat kejahilan yang telah dibangun para
elit politik. Contonya, ia memberi solusi dengan menggalakan pendidikan
Pancasila, kewarganegaraan, dan demokrasi sedini mungkin di setiap jenjang
perkuliahan.
Supremasi hukum juga bisa menjadi solusi lain,
pemerintah dan lembaga-lembaganya harus tunduk pada hukum negara dan penegakkan
hukum harus dijunung tinggi. MPR sebagai lembaga juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan
yang dibuatnya sendiri. Sehingga konstitusi negara yang mengatur hubungan
timbal balik antara kekuasaan negara dan warga negara dapat berjalan dengan
semestinya. Pemerintah sebagai pelaksana hukum harus melaksanakan hukum di
negara hukum, harus bisa mengalirkan dan mencerminkan aspirasi rakyat. Jika
tidak, samalah artinya dengan mata uang palsu.[3]
Kerapuhan lain juga terlihat dari peminggiran
peran warga negara dalam demokrasi, Yudi memaparkan ada empat cara peminggiran
tersebut. Dalam analisisnya tidak dituliskan keempat cara tersebut, hanya
dijelaskan tiga cara peminggiran. Sehingga pembaca dibawa mengambang dalam
pemikiran tak berujung.
Selebihnya saya mendukung pendapat dan
analisis penulis. Di era reformasi yang masih muda ini, hendaknya kita harus
mengawal dan mengkritisi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan konstitusi
Indonesia. Dalam berjalannya demokrasi, salah satu pilarnya yakni pers harus
diberi kebebasan dan keleluasaan dalam penyampaian berita. Sehingga pers dapat
menyampaikan berita yang membentuk mindset, membangun peradaban, dan menanamkan
nilai-nilai nasionalisme kepada khayalak luas.
Daftar Pustaka
Azhary,
Negara Hukum Indonesia. Jakarta : UI Press, 1995.
Budiarjo,
Miriam,Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi revisi : Cetakan kedua. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Ubaedillah
Ahmad dan Rozak Abdul. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani.
Cetakan kelima. Jakarta : ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Latif,
Yudi. 2013. “Demokrasi Tanpa Kedalaman.” Kompas, April 16.
0 komentar:
Posting Komentar