Jumat, 19 April 2013

Filled Under: ,

CRITICAl REVIEW DEMOKRASI TANPA KEDALAMAN

18.52



sumber : konsolidasidemokrasiindonesia.blogspot.com


Sumber: Yudi Latif, Demokrasi Tanpa Kedalaman,Koran Kompas, Selasa, 16 April 2013

A.      Pengantar
Demokrasi merupakan salah satu sistem politik yang berkembang pesat di belahan dunia pada akhir abad ke–19.Demokrasi sendiri lahir di Yunani yang dalam etimologi merupakan bentukan dari kata demos (rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan). Definisi demokrasi yaitu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat, dan dipilih wakil rakyat untuk menjalankan pemerintahan adapun pemilu dilaksanakan secara langsung dan bebas.
Indonesia sendiri menganut demokrasi Pancasila, yang menggunakan beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional. Hal ini tercantum jelas dalam Undang- Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum, dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Selanjutnya, dijelaskan pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi tidak bersifat absolutisme.[1]
Setelah melewati beberapa fase perjalanan demokrasi, Indonesia memasuki fase reformasi. Sebuah babak baru di mana pemerintah menghargai kebebasan individu, hak asasi manusia dijunjung tinggi, dan mekanisme perpolitikan berkembang pesat. Namun dalam perkembangannya, demokrasi Indonesia jauh dari orientasi yang hendak dicapai. Kenegatifan ini disebabkan krisis etika dan penalaran aktor politik Indonesia.

B.       Rangkuman
Demokrasi beradab berdiri di atas sendi hukum (nomokrasi) yang dalam pelaksanaannya mengedepankan etika (nilai moral), sehingga supremasi hukum dapat berlangsung. Jika demokrasi tanpa nomokrasi, menyebabkan hanya permasalahan kecil yang tampak, sedangkan permasalahan utama yang menyangkut dan merugikan negara hilang tanpa jejak. Contohnya perbuatan Presiden dan Wakil Presiden dalam megaskandal BLBI dan Bank Century, mereka berdua tampak santun dalam beretiket namun sebenarnya melanggar etika hukum.
Kedangkalan dan pelanggaran ini mengakibatkan subtansi keadilan mudah terjebak dalam proses-proses transaksional. Hukum yang ditransaksi ini, menyebabkan ketidakpastian hukum, yang menimbulkan ketidakpecayaan rakyat terhadap aparatur hukum. Semua ini berakibat maraknya anarki dan tirani akhir-akhir ini. Kasus penyerbuan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, DI Yogjakarta merupakan salah satunya.
Belum lagi, perjalanan demokrasi Indonesia yang telah memenuhi sisi negatif dari poliarki yang dipikikan oleh Aristoteles. Menurut Dahl, poliarki adalah sistem di mana kekuasaan  selalu berputar di kalangan elit, tanpa memberi kesempatan kepada semua orang untuk berkompetisi dalam perebutan kekuasaan. Poliarki disebabkan karena para elitlah yang memiliki sumber daya,  bermula dari perekrutan kepemimpinan politik yang lebih mengedepankan sumber daya alokatif ketimbang kemampuan.
Krisis ini diperparah krisis penalaran rakyat Indonesia. Kecacatan amandemen, Undang-Undang, konstitusi, menjadi indikator turunya kualitas nalar publik. Para politisi mulai jarang yang bekerja  independen dan dapat mengunakan nalar secara jernih dan mendalam.
Tanpa kekuatan etika dan nalar publik, Benjamin barber menujukan demokrasi yang terbenam dalam lautan uang. Adapun cara yang dilaksanakan untuk menghilangakan peran warga negara dalam berdemokrasi adalah kekuatan kapitalis mengkerdilakan konsumen, pengentifikasikan orang melalui merek barang, dan mengkhususkan warga negara sehingga “aku” lebih prioritas dibandingkan”kita”.Maka, seyogyanya Indonesia harus memiliki levensinhouddan levensrichting, memiliki isi hidup dan arah hidup sehingga menjadi bangsa yang dalam tidak dangkal.
C.      Evaluasi
Analisa Yudi Latif berjudul Demokrasi Tanpa Kedalaman merupakan sebuah analisa yang patut diapresiasi. Ia menganalisa sebab pelbagai permasalahan demokrasi bangsa yang akhir-akhir ini menghujam  Ibu pertiwi. Penulis sangat kompeten dalam menyajikan analisanya, diperkuat dengan argumen pakar politik dari Aristoteles, Frank Furedi, dan Benjamin Barber. Khalayak umum sebagai target sasaran analisa dapat dituju, pesan-pesan yang disampaikan tersurat dalam tulisannya, sehingga mampu merekontruksi sebuah pemikiran tentang keadaan demokrasi Indonesia.
Tak hanya itu, ia juga menyampaikan contoh dan data yang akurat dan lugas. Kata-kata yang digunakan santun dengan mengunakan konotasi yang baik. Dalam penulisannya, kritik dan hujatan disampaikan secara santun terhadap tingkah laku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Budieono. Menurutnya, keduanya hanya mengedepankan etiket ketimbang etika, berprilaku dan betutur santun lagi sopan, seakan-akan membangun pandangan bahwa keduanya adalah penegak tonggak demokrasi yang diharapkan para founding fathers, namun sejatinya keduanya malah meninggalkan etika dan membunuh inti dari demokrasi konstitusional dengan lemah dan rapuhnya pelaksanan supremasi hukum.
Tersurat disampaikan olehnya, bahwa pemimpin kita tidak dapat dijadikan contoh yang baik, sehingga berakibat terhadap hilangnya public trustdan timbulnya “hukum rimba” dalam  menghakimi sebuah kasus. Seharusnya, pemegang kekuasaan mengutamakan persamaan dalam hukum sehingga tidak perlu ada pembedaan dalam forum keadilan serta mampu melindungi dan menjamin berjalannya hukum yang adil. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yang bunyinya: segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[2]
Penulisan analisis ini tidak berdiri tegak sempurna, namun memiliki kerapuhan dan celah untuk dikritisi. Kerapuhan itu terlihat jelas dari solusi yang disampaikan olehnya, ia mengutip perkataan Presiden Soekarno agar bangsa Indonesia memiliki isi hidup dan arah hidup. Padahal dari pembahasan ia menekankan lemahnya etika dan nalar publik, kutipan yang disajikankurang cocok, sehingga solusi agak kabur tidak sesuai dengan penyebab kedangkalan demokrasi kita. Seharusnya, penulis memaparkan solusi yang dapat mengkikis dan menghancurkan karak kuat kejahilan yang telah dibangun para elit politik. Contonya, ia memberi solusi dengan menggalakan pendidikan Pancasila, kewarganegaraan, dan demokrasi sedini mungkin di setiap jenjang perkuliahan.
Supremasi hukum juga bisa menjadi solusi lain, pemerintah dan lembaga-lembaganya harus tunduk pada hukum negara dan penegakkan hukum harus dijunung tinggi. MPR sebagai lembaga  juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang dibuatnya sendiri. Sehingga konstitusi negara yang mengatur hubungan timbal balik antara kekuasaan negara dan warga negara dapat berjalan dengan semestinya. Pemerintah sebagai pelaksana hukum harus melaksanakan hukum di negara hukum, harus bisa mengalirkan dan mencerminkan aspirasi rakyat. Jika tidak, samalah artinya dengan mata uang palsu.[3]
Kerapuhan lain juga terlihat dari peminggiran peran warga negara dalam demokrasi, Yudi memaparkan ada empat cara peminggiran tersebut. Dalam analisisnya tidak dituliskan keempat cara tersebut, hanya dijelaskan tiga cara peminggiran. Sehingga pembaca dibawa mengambang dalam pemikiran tak berujung.
Selebihnya saya mendukung pendapat dan analisis penulis. Di era reformasi yang masih muda ini, hendaknya kita harus mengawal dan mengkritisi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan konstitusi Indonesia. Dalam berjalannya demokrasi, salah satu pilarnya yakni pers harus diberi kebebasan dan keleluasaan dalam penyampaian berita. Sehingga pers dapat menyampaikan berita yang membentuk mindset, membangun peradaban, dan menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada khayalak luas.
Daftar Pustaka
Azhary, Negara Hukum Indonesia. Jakarta : UI Press, 1995.
Budiarjo, Miriam,Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi revisi : Cetakan kedua. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Ubaedillah Ahmad dan Rozak Abdul. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani.            Cetakan kelima. Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Latif, Yudi. 2013. “Demokrasi Tanpa Kedalaman.” Kompas, April 16.



[1]Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Umum 2008), hlm. 106.
[2] Azhari, Negara Hukum Indonesia (Jakarta, UI Press 1995), hlm. 113.
[3]Ibid., hlm. 111.

0 komentar:

Posting Komentar