Senin, 14 Januari 2013

Filled Under:

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN INDONESIA

20.02



sumber gambar : lipmag.com

            Perempuan dan politik merupakan dua hal yang masih sulit untuk dibayangkan oleh sebagian masyarakat berkembang. Dalam paradigma mereka, perempuan selalu identik dengan segala kegiatan di ruang lingkup keluarga. Adapun politik yang identik dengan kekuasaan, power, dan pengaruh lebih condong kepada laki-laki, mereka juga menganggap laki-laki lebih baik dalam kepemimpinan ketimbang perempuan. Namun, faktor kemajuan zaman dan semakin berkembangnya pendidikan di Indonesia serta lahirnya tokoh-tokoh politik dari kaum Hawa dewasa ini sedikit mengubah paradigma bahwa perempuan tidak boleh terjun di kancah perpolitikan.

Semakin semaraknya Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia pada tahun 2009 yang melanda seluruh daerah bisa dijadikan indikator tingginya partisipasi masyarakat dalam perpolitikan. Hal tak mengecualikan pada kelompok-kelompok tertentu yang dahulunya seakan tertindas dan didiskriminasi akan keikutsertaannya dalam politik, dalam kasus ini adalah kaum perempuan. Seiring kesadaran akan persamaan gender dan kesadaran berpolitik yang tinggi, maka para perempuan mulai sadar akan perannya dalam demokrasi Indonesia bahwa sikap mereka dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pandangan masyarakat akan partisipasi politik masih sebatas memberikan suara dalam pemilu, kampanye, perekrutan kader politik, dan berbagai kegiatan lain yang bersangkutan dengan parta politik. Padahal sejatinya, partisipasi politik tidak hanya terbatas pada partai politik sebagai aktor utama pemilu akan tetapi segala kegiatan masyarakat yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah.
            Adalah Herbert McClosky seorang tokoh masalah partisipasi mengemukakan :
Partisipasi politk adalah kegiatan-kegiatan sukarela warga negara masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. (Miriam Budiardjo, 2008:367)

Definisi tentang partisipasi politik di negara berkembang bahkan lebih luas dari sekedar kegiatan yang mempengaruhi kebijakan pemerintah. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson berpendapat :

Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporaddis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. (Miriam Budiharjo, 2008: 368)

Setelah memahami bahwa partisipasi politik tidak hanya terbatas pada kegiatan yang legal dan ilegal, maka dapt disimpulkan terorisme, sikap apatis rakyat akan pilkada, dan pembunuhan aktor politik secara tak langsung masuk kedalam kegiatan partisipasi politik. Menarik untuk dibahas adalah bagaimana partisipasi politik perempuan di Indonesia? Apakah mereka sudah sebagai pengambil kebijakan atau hanya mempengaruhi kebijakan pemerintah? Apa yang menghambat keikutsertaan perempuan dalam politik? Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mendongkrak keikutsertaan perempuan?

Sejatinya partisipasi perempuan dalam perpolitikan bukan merupakan hal baru bagi Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka perempuan mengambil peran penting akan tertelibatannya dalam perlawanan terhadap penjajah dan andil lain dalam merebut kemerdekaan dari tangan Belanda. Bentuk partisipasi politk dari setiap zaman memiliki keunggulan tersendiri dan ciri khas berbeda. Pada zaman sebelum kemerdekan, telah berjuang Martha Cristina Tihanatu (1818), Cut Nyak Dien (1908), Cut Meutia (1910), Nyai Ageng Serang (1928), dan R. A. Kartini dengan caranya sendiri-sendiri untuk mempengaruhi kebijakan penjajah Belanda pada zamannya. Seperti Kartini yang berjuang memperjuangkan emansipasi wanita Indonesia, menentang kolonialisme yang hanya menyengsarakan Indonesia.[1]
 
Menurut Ishodroini Suyanto, adanya kolonialisme membentuk sebuah kesadaran akan butuhnya organisasi baik kooperatif maupun non-kooperatif dalam menghalau lajunya penjajahan dan ekploitasi alam Indonesia. Maka sebelum kemerdekaan telah lahir organisasi yang menyadarkan arti penting perempuan dalam keikutsertaan mereka dalam organisasi kebangsaan. Puncaknya adalah diadakannya kongres perempuan Indonesia II, yang melahirkan “pasief kiesrecht” atau hak pilih pasif bagi kaum perempuan. (Ester Mariani Ga, 1997 : 92)

Setelah kemerdekaan, perempuan juga ikut andil dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda. Para perempuan ikut turut andil dalam perperangan khususnya menyediakan kebutuhan medis bagi pejuang-pejuang agresi militer. Adapun implementasi paling nyata bagi keterlibatan perempuan adalah memberikan suara dalam pemilu 1965, mereka bagi yang memenuhi syarat untuk memilih. Selain itu, lahir juga undang-undang tentang pernikahan, ini bukti lain partisipasi politik perempaun setelah kemerdekaan.[2]

                Pada zaman Orde Baru, partisipasi perempuan dalam perpolitikan masih kurang. Hal ini dapat dibuktikan dari sedikitnya perempuan yang duduk di dewan perwakilan. Selain itu, memberikan hak suara bagi masyarakat khususnya hanya sebagai kewajiban belaka sebagai warga negara tidak ikut andil mengawasi pemerintahan secara aktif, disebabkan keotoriterian rezim Suharto pada zaman Orde Baru.

            Seiring berkembangnya zaman dan semakin timbulnya kesadaran akan kesetaraan gender, maka memasuki zaman Reformasi pemerintah mengeluarkan kebijakan dan peraturan yang mengatur keterlibatan perempuan dalam partai politik. Hal tersebut dapat dilihat dari Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.[3]

            Dalam menentukan 30% kuota wajib parpol untuk mengikut sertakan perempuan merupakan sebuah kemajuan yang cukup signifikan dan baik. Negara sebagai institusi tertinggi sudah mulai memaksa kebijakan tersebut, agar dunia politik tidak hanya dikuasi oleh kaum Adam, tapi perempuan juga bisa ikut turut andil dalam dunia tersebut asalkan berkualitas dan dapat diperhitungkan. Namun, apakah kuota 30% ini sudah berjalan semenjak pertama kali dijadikan Undang-Undang.

            Semenjak dikeluarkan Undang-Undang tersebut, ternyata masih banyak partai-partai politik yang belum memenuhi 30% kouta tersebut di kepengurusan, faktanya dari enam (6) dari sembilan (9) partai yang lolos Parliamentary Threshold (PT) pada pemilihan umum tahun 2009 yang telah menyelenggarakan musyawarah nasional/kongres/muktamar sepanjang tahun 2009-2011 belum mampu menjalankan amanah Undang-Undang. Keenam partai tersebut adalah Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hanya PPP yang memenuhi persyaratan 30% kouta tersebut.[4]

            Menarik untuk dibahas adalah bagaimana pengaruh perempaun dalam pengambilan kebijakan didalam negeri ini. Ada empat kementerian yang dipimpin perempuan dalam Kabinet tahun 2009-2014 yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan dan Industri, serta Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) (UNDP, 2010). Kabinet saat ini memiliki 4 perempuan dari 34 menteri (14,7%), sedikit meningkat dari empat perempuan dari 36 anggota di kabinet sebelumnya. Tetapi, jumlah ini masih lebih rendahdari persentase perempuan di DPR sebesar 18% tahun 2009 (UNDP, 2010). Keterwakilan perempuan di posisi atas pengambilan keputusan di semua kementerian negara, lembaga dan komisi independen juga sangat rendah.

            Penjelasan di atas dapat membuktikan bahwa partisipasi politik perempuan dalam pengambilan kebijakan di negeri ini belum terlalu signifikan. Menurut hemat saya, hal ini disebabkan doktrin masyarakat Indonesia yang lebih memberikan kelekuasaan dalam pengambilan kebijakan keluarga kepada laki-laki bukan perempuan, perempuan masih dianggap tabuh dan tak layak dalam menentukan kebijakan keluarga. Berangkat dari keluarga yang kecil tersebut maka secara langsung juga mencontohkan bagaimana keadaan pengambilan keputusan di negeri ini, sebab keluarga adalah salah satu bagian kecil dari sebuah negara besar.

            Pengaruh pengambilan kebijakan perempuan di negara belum terlalu signifikan, lalu bagaimana jika di daerah? Sesuai Undang-Undang Otonomi daerah tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, maka mulai timbul dari daerah-daerah aktor-aktor politik dari kaum Hawa. Dengan adanya pilkada langsung sampai ketingkat kabupaten dan kota, maka hal tersebut menjadi proses pembelajaran demokrasi, wadah pendidikan politik, mempersiapkan kader politik tingkatan nasional. Namun, dalam berbagai kasus terdapat faktor-faktor penghambat partisipasi perempuan dalam politik di daerah-daerah tertentu. Di daerah Aceh dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mayoritas pemeluk Islam perempuan masuk ke ranah politik itu tabu dan melanggar nilai-nilai agama, lain halnya di Papua partisipasi politik perempuan sengatlah rendah kurang hal ini disebabkan berbenturan dengan adat di Papua yang menganggap perempuan tidak punya hak untuk masuk dalam ruang pengambilan keputusan dan kebijakan adat bagi masyarakat. Selain masalah adat, keadaan konflik di Papua menyebabkan perempuan enggan turut di kancah politik dan lebih memilih urusan internal keluarga.[5]
 
Budaya patriarki yang mengakar dan sisitem perpolitikan yang didominasi oleh kaum laki-laki memiliki dampak negatif yang besar bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi politiknya. Peran perempuan dalam pengambilan keputusan di ruang publik terhambat. Sebaliknya, mereka diharapkan untuk mengunakan kemampuannya di lingkungan rumah tangga. ( Ani Widyani, 2005:237)

Menurut hemat saya, partisipasi politik perempuan Indonesia masih sangat kurang, padahal sebagian mereka berpotensi dan akuntabel untuk terjun di politik.
            Menurut data dari Inter Parlementary Union, Indonesia menempati urutan keempat dalam kepartisipasian perempuan dalam parlemen dibandingkan negara-negara Asia Tenggara. Berikut hasilnya :
Nama Negara
Tahun Pemilu
Jumlah Kursi
Kursi Perempuan
Persentase
Timor-Leste
2012
65
25
38.5%
Viet Nam
2011
500
122
24.4%
Singapore
2011
98
23
23.5%
Indonesia
2009
560
104
18.6%
Thailand
2011
500
79
15.8%
Malaysia
2008
221
23
10.4%
Myanmar
2010
431
26
6.0%





Sumber : Inter Parlementary Union, 2012 ( http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm )

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan di dalam  perpolitikan masih minim bagi Indonesia, karena bangsa kita merupakan bangsa yang besar dan memiliki pengaruh di Asean, 18.6%  menurut saya rasa belum bisa mewakilkan aspirasi perempuan seluruh Indonesia.

            Setelah membahas tentang partisipasi perempuan dalam perpolitikan Indonesia dapat dirumuskan dua faktor yang menyebabkan rendahnya representasi perempuan di parpol adalah faktor internal dan eksternal. Adapun faktor eksternal sebagai berikut : pertama, perempuan belum ditempakan sebagai bagian penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan di parpol; kedua, proses pengambilan kebijakan di parpol sering mengabaikan kepentingan perempuan; ketiga, dukungan keluarga dan masyarakat akan keikutsertaan perempuan dalam parpol sangat minim; keempat, pandangan umum bahwa dunia perpolitikan hanya cocok bagi kaum laki-laki; terkahir, adanya penghalang dari faktor agama dan adat. Sedangan faktor internal sebagai berikut : pertama, perempuan enggan terjun ke dunia politik karena dianggap kotor; kedua, pengakderan aktifis perempuan di organisasi kemahasiswaan dan pemuda sering pupus; ketiga, ketidak mampuan untuk menyediakan waktu turun ke dalam parpol.[6]
 
            Tindakan pemerintah mewajibkan 30% kouta perempuan dalam parpol merupakan sebuah kebijakan yang patut dianjungkan jempol, ini adalah sebuah terobosan baru menuju lahirnya kader-kader politik dari kaum perempuan. Negara sebagai lembaga tertinggi yang bersifat memaksa harus mengawasi agar Undang-Undang tersebut agar dapat berjalan seperti yang diharapkan. Selain itu, menurut saya ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah agar peraturan diatas berjalan lancar yakni : pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menindak partai politik yang pengurus harian perempuannya kurang dari 30%; kedua, pemerintah harus menghidupkan organisasi kewanitaan baik ditingkat pemuda, mahasiswa, dan orang tua; ketiga, pemerintah menyosialisasikan secara terus menerus akan pentingnya partisipasi perempuan dalam perpoltikan; terakhir, meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia khususnya kaum Hawa.


DAFTAR PUSTAKA



Budiarajo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Soetjipto, Ani Widyani. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta :Kompas, 2005.

Ga, Ester Mariani. “Partisipasi Politik Perempuan : Antara Kewajiban dan Perjuangan Memperoleh Hak,” Bina Darma, Maret 1997 (Jurnal On-line); tersedia di isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5415978996.pdf ; Internet; diunduh pada 15 Desember 2012.

Mukti, Lena Maryana, “Partisiapasi Perempuan dalam Partai Politik Sebuah Keniscayaan,” Komnas Perempuan, ( Artikel On-line); tersedia di www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2012/02/Kelompok-Kerja-Keterwakilan-Perempuan-Lena-Maryana-Mukti.pdf, Internet;  diunduh pada 23 Desember 2012.

LIPI, “Peran Perempuan dalam Politik Terkendala Kultur,” Harian Analisa,( Berita On-line); tersedia di http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/30/90854/lipi_peran_perempuan_dalam_politik_terkendala_kultur/#.UNcOL3fbDQo, Internet, diakses 23 Desember 2012.







[1] Ester Mariani Ga. 1997. Partisipasi Politik Perempuan : Antara Kewajiban dan Perjuangan Memperoleh Hak, Bina Darma (Online), No.54, (http: isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5415978996.pdf, diakses 13 Desember 2012)
[2] Ibid, hlm.  92.
[3] Kuota 30 Persen Perempuan dalam Politik, Indosiar.com, (Berita Online), (http://www.indosiar.com/ragam/kuota-30-persen-perempuan-dalam-politik_75018.html, diakses 23 Desember 2012)
[4]Lena Maryana Mukti, Partisipasi Perempuan dalam Partai Politik Sebuah Keniscayaan, Komnas Perempuan, (Artikel Online), (www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2012/02/Kelompok-Kerja-Keterwakilan-Perempuan-Lena-Maryana-Mukti.pdf, diakses 23 Desember 2012)
  
[5] LIPI, Peran Perempuan Dalam Politik Terkendala Kultur, Harian Analisa, (Artikel Online),(http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/30/90854/lipi_peran_perempuan_dalam_politik_terkendala_kultur/#.UNcOL3fbDQo, diakses 23 Desember 2012)

[6] Lena Maryana Mukti, op.cit., hlm. 3

0 komentar:

Posting Komentar