sumber gambar : lipmag.com
Perempuan dan politik merupakan dua hal yang masih sulit
untuk dibayangkan oleh sebagian masyarakat berkembang. Dalam paradigma mereka,
perempuan selalu identik dengan segala kegiatan di ruang lingkup keluarga.
Adapun politik yang identik dengan kekuasaan, power, dan pengaruh lebih condong
kepada laki-laki, mereka juga menganggap laki-laki lebih baik dalam
kepemimpinan ketimbang perempuan. Namun, faktor kemajuan zaman dan semakin
berkembangnya pendidikan di Indonesia serta lahirnya tokoh-tokoh politik dari
kaum Hawa dewasa ini sedikit mengubah paradigma bahwa perempuan tidak boleh
terjun di kancah perpolitikan.
Semakin semaraknya Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia pada
tahun 2009 yang melanda seluruh daerah bisa dijadikan indikator tingginya
partisipasi masyarakat dalam perpolitikan. Hal tak mengecualikan pada
kelompok-kelompok tertentu yang dahulunya seakan tertindas dan didiskriminasi
akan keikutsertaannya dalam politik, dalam kasus ini adalah kaum perempuan.
Seiring kesadaran akan persamaan gender dan kesadaran berpolitik yang tinggi,
maka para perempuan mulai sadar akan perannya dalam demokrasi Indonesia bahwa
sikap mereka dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Pandangan masyarakat akan
partisipasi politik masih sebatas memberikan suara dalam pemilu, kampanye,
perekrutan kader politik, dan berbagai kegiatan lain yang bersangkutan dengan
parta politik. Padahal sejatinya, partisipasi politik tidak hanya terbatas pada
partai politik sebagai aktor utama pemilu akan tetapi segala kegiatan
masyarakat yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Adalah Herbert McClosky seorang tokoh masalah partisipasi
mengemukakan :
Partisipasi politk adalah
kegiatan-kegiatan sukarela warga negara masyarakat melalui mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau
tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. (Miriam
Budiardjo, 2008:367)
Definisi
tentang partisipasi politik di negara berkembang bahkan lebih luas dari sekedar
kegiatan yang mempengaruhi kebijakan pemerintah. Samuel P. Huntington dan Joan
M. Nelson berpendapat :
Partisipasi politik adalah
kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat
individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporaddis,
secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak
efektif. (Miriam Budiharjo, 2008: 368)
Setelah
memahami bahwa partisipasi politik tidak hanya terbatas pada kegiatan yang
legal dan ilegal, maka dapt disimpulkan terorisme, sikap apatis rakyat akan
pilkada, dan pembunuhan aktor politik secara tak langsung masuk kedalam kegiatan
partisipasi politik. Menarik untuk dibahas adalah bagaimana partisipasi politik
perempuan di Indonesia? Apakah mereka sudah sebagai pengambil kebijakan atau
hanya mempengaruhi kebijakan pemerintah? Apa yang menghambat keikutsertaan
perempuan dalam politik? Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk
mendongkrak keikutsertaan perempuan?
Sejatinya
partisipasi perempuan dalam perpolitikan bukan merupakan hal baru bagi
Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka perempuan mengambil peran penting
akan tertelibatannya dalam perlawanan terhadap penjajah dan andil lain dalam
merebut kemerdekaan dari tangan Belanda. Bentuk partisipasi politk dari setiap
zaman memiliki keunggulan tersendiri dan ciri khas berbeda. Pada zaman sebelum
kemerdekan, telah berjuang Martha Cristina Tihanatu (1818), Cut Nyak Dien
(1908), Cut Meutia (1910), Nyai Ageng Serang (1928), dan R. A. Kartini dengan
caranya sendiri-sendiri untuk mempengaruhi kebijakan penjajah Belanda pada
zamannya. Seperti Kartini yang berjuang memperjuangkan emansipasi wanita
Indonesia, menentang kolonialisme yang hanya menyengsarakan Indonesia.[1]
Menurut
Ishodroini Suyanto, adanya kolonialisme membentuk sebuah kesadaran akan
butuhnya organisasi baik kooperatif maupun non-kooperatif dalam menghalau
lajunya penjajahan dan ekploitasi alam Indonesia. Maka sebelum kemerdekaan
telah lahir organisasi yang menyadarkan arti penting perempuan dalam
keikutsertaan mereka dalam organisasi kebangsaan. Puncaknya adalah diadakannya
kongres perempuan Indonesia II, yang melahirkan “pasief kiesrecht” atau hak
pilih pasif bagi kaum perempuan. (Ester Mariani Ga, 1997 : 92)
Setelah
kemerdekaan, perempuan juga ikut andil dalam mempertahankan kemerdekaan dari
agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda. Para perempuan ikut turut andil
dalam perperangan khususnya menyediakan kebutuhan medis bagi pejuang-pejuang
agresi militer. Adapun implementasi paling nyata bagi keterlibatan perempuan
adalah memberikan suara dalam pemilu 1965, mereka bagi yang memenuhi syarat
untuk memilih. Selain itu, lahir juga undang-undang tentang pernikahan, ini
bukti lain partisipasi politik perempaun setelah kemerdekaan.[2]
Pada
zaman Orde Baru, partisipasi perempuan dalam perpolitikan masih kurang. Hal ini
dapat dibuktikan dari sedikitnya perempuan yang duduk di dewan perwakilan.
Selain itu, memberikan hak suara bagi masyarakat khususnya hanya sebagai
kewajiban belaka sebagai warga negara tidak ikut andil mengawasi pemerintahan
secara aktif, disebabkan keotoriterian rezim Suharto pada zaman Orde Baru.
Seiring berkembangnya zaman dan
semakin timbulnya kesadaran akan kesetaraan gender, maka memasuki zaman
Reformasi pemerintah mengeluarkan kebijakan dan peraturan yang mengatur
keterlibatan perempuan dalam partai politik. Hal tersebut dapat dilihat dari Undang-undang No. 10
tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang
Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik
adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam
Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya
30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai
salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53
UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling
sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.[3]
Dalam menentukan 30% kuota wajib
parpol untuk mengikut sertakan perempuan merupakan sebuah kemajuan yang cukup
signifikan dan baik. Negara sebagai institusi tertinggi sudah mulai memaksa
kebijakan tersebut, agar dunia politik tidak hanya dikuasi oleh kaum Adam, tapi
perempuan juga bisa ikut turut andil dalam dunia tersebut asalkan berkualitas
dan dapat diperhitungkan. Namun, apakah kuota 30% ini sudah berjalan semenjak
pertama kali dijadikan Undang-Undang.
Semenjak dikeluarkan Undang-Undang
tersebut, ternyata masih banyak partai-partai politik yang belum memenuhi 30%
kouta tersebut di kepengurusan, faktanya dari enam (6)
dari sembilan (9) partai yang lolos Parliamentary Threshold (PT) pada pemilihan
umum tahun 2009 yang telah menyelenggarakan musyawarah
nasional/kongres/muktamar sepanjang tahun 2009-2011 belum mampu menjalankan
amanah Undang-Undang. Keenam partai tersebut adalah Golongan Karya (Golkar),
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP),
Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), hanya PPP yang memenuhi persyaratan 30% kouta tersebut.[4]
Menarik untuk dibahas adalah
bagaimana pengaruh perempaun dalam pengambilan kebijakan didalam negeri ini.
Ada empat kementerian yang dipimpin perempuan dalam
Kabinet tahun 2009-2014 yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan,
Kementerian Perdagangan dan Industri, serta Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) (UNDP, 2010). Kabinet saat ini memiliki 4 perempuan dari 34 menteri (14,7%), sedikit meningkat dari
empat perempuan dari 36 anggota di kabinet sebelumnya. Tetapi, jumlah ini masih lebih rendahdari
persentase perempuan di DPR sebesar 18% tahun 2009 (UNDP, 2010). Keterwakilan perempuan di posisi atas
pengambilan keputusan di semua kementerian negara, lembaga dan komisi
independen juga sangat rendah.
Penjelasan di atas dapat membuktikan
bahwa partisipasi politik perempuan dalam pengambilan kebijakan di negeri ini
belum terlalu signifikan. Menurut hemat saya, hal ini disebabkan doktrin
masyarakat Indonesia yang lebih memberikan kelekuasaan dalam pengambilan
kebijakan keluarga kepada laki-laki bukan perempuan, perempuan masih dianggap
tabuh dan tak layak dalam menentukan kebijakan keluarga. Berangkat dari
keluarga yang kecil tersebut maka secara langsung juga mencontohkan bagaimana
keadaan pengambilan keputusan di negeri ini, sebab keluarga adalah salah satu
bagian kecil dari sebuah negara besar.
Pengaruh pengambilan kebijakan
perempuan di negara belum terlalu signifikan, lalu bagaimana jika di daerah? Sesuai
Undang-Undang Otonomi daerah tentang pemilihan kepala daerah secara langsung,
maka mulai timbul dari daerah-daerah aktor-aktor politik dari kaum Hawa. Dengan
adanya pilkada langsung sampai ketingkat kabupaten dan kota, maka hal tersebut
menjadi proses pembelajaran demokrasi, wadah pendidikan politik, mempersiapkan
kader politik tingkatan nasional. Namun, dalam berbagai kasus terdapat
faktor-faktor penghambat partisipasi perempuan dalam politik di daerah-daerah
tertentu. Di daerah Aceh dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mayoritas pemeluk
Islam perempuan
masuk ke ranah politik itu tabu dan melanggar nilai-nilai agama, lain halnya di
Papua partisipasi politik perempuan sengatlah rendah kurang hal ini disebabkan
berbenturan dengan adat di Papua yang menganggap perempuan tidak punya hak
untuk masuk dalam ruang pengambilan keputusan dan kebijakan adat bagi
masyarakat. Selain masalah adat, keadaan konflik di Papua menyebabkan perempuan
enggan turut di kancah politik dan lebih memilih urusan internal keluarga.[5]
Budaya patriarki yang mengakar
dan sisitem perpolitikan yang didominasi oleh kaum laki-laki memiliki dampak
negatif yang besar bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi
politiknya. Peran perempuan dalam pengambilan keputusan di ruang publik
terhambat. Sebaliknya, mereka diharapkan untuk mengunakan kemampuannya di
lingkungan rumah tangga. ( Ani Widyani, 2005:237)
Menurut hemat saya,
partisipasi politik perempuan Indonesia masih sangat kurang, padahal sebagian
mereka berpotensi dan akuntabel untuk terjun di politik.
Menurut data dari Inter Parlementary
Union, Indonesia menempati urutan keempat dalam kepartisipasian perempuan dalam
parlemen dibandingkan negara-negara Asia Tenggara. Berikut hasilnya :
Nama Negara
|
Tahun Pemilu
|
Jumlah Kursi
|
Kursi Perempuan
|
Persentase
|
Timor-Leste
|
2012
|
65
|
25
|
38.5%
|
Viet Nam
|
2011
|
500
|
122
|
24.4%
|
Singapore
|
2011
|
98
|
23
|
23.5%
|
Indonesia
|
2009
|
560
|
104
|
18.6%
|
Thailand
|
2011
|
500
|
79
|
15.8%
|
Malaysia
|
2008
|
221
|
23
|
10.4%
|
Myanmar
|
2010
|
431
|
26
|
6.0%
|
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa
keterlibatan perempuan di dalam
perpolitikan masih minim bagi Indonesia, karena bangsa kita merupakan
bangsa yang besar dan memiliki pengaruh di Asean, 18.6% menurut saya rasa belum bisa mewakilkan
aspirasi perempuan seluruh Indonesia.
Setelah membahas tentang partisipasi perempuan dalam
perpolitikan Indonesia dapat dirumuskan dua faktor yang menyebabkan rendahnya
representasi perempuan di parpol adalah faktor internal dan eksternal. Adapun
faktor eksternal sebagai berikut : pertama, perempuan belum ditempakan
sebagai bagian penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan di parpol; kedua,
proses pengambilan kebijakan di parpol sering mengabaikan kepentingan
perempuan; ketiga, dukungan keluarga dan masyarakat akan keikutsertaan
perempuan dalam parpol sangat minim; keempat, pandangan umum bahwa dunia
perpolitikan hanya cocok bagi kaum laki-laki; terkahir, adanya
penghalang dari faktor agama dan adat. Sedangan faktor internal sebagai berikut
: pertama, perempuan enggan terjun ke dunia politik karena dianggap
kotor; kedua, pengakderan aktifis perempuan di organisasi kemahasiswaan
dan pemuda sering pupus; ketiga, ketidak mampuan untuk menyediakan waktu
turun ke dalam parpol.[6]
Tindakan pemerintah mewajibkan 30%
kouta perempuan dalam parpol merupakan sebuah kebijakan yang patut dianjungkan
jempol, ini adalah sebuah terobosan baru menuju lahirnya kader-kader politik
dari kaum perempuan. Negara sebagai lembaga tertinggi yang bersifat memaksa
harus mengawasi agar Undang-Undang tersebut agar dapat berjalan seperti yang
diharapkan. Selain itu, menurut saya ada beberapa hal yang perlu dilakukan
pemerintah agar peraturan diatas berjalan lancar yakni : pertama, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) harus menindak partai politik yang pengurus harian
perempuannya kurang dari 30%; kedua, pemerintah harus menghidupkan organisasi
kewanitaan baik ditingkat pemuda, mahasiswa, dan orang tua; ketiga, pemerintah
menyosialisasikan secara terus menerus akan pentingnya partisipasi perempuan
dalam perpoltikan; terakhir, meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia
khususnya kaum Hawa.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarajo, Miriam. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Soetjipto, Ani Widyani. Politik
Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta :Kompas, 2005.
Ga, Ester Mariani. “Partisipasi
Politik Perempuan : Antara Kewajiban dan Perjuangan Memperoleh Hak,”
Bina Darma, Maret 1997 (Jurnal On-line); tersedia di isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5415978996.pdf ; Internet; diunduh pada 15 Desember 2012.
Mukti, Lena Maryana, “Partisiapasi
Perempuan dalam Partai Politik Sebuah
Keniscayaan,” Komnas Perempuan, (
Artikel On-line); tersedia di www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2012/02/Kelompok-Kerja-Keterwakilan-Perempuan-Lena-Maryana-Mukti.pdf, Internet;
diunduh pada 23 Desember 2012.
LIPI, “Peran Perempuan
dalam Politik Terkendala Kultur,” Harian Analisa,( Berita On-line);
tersedia di http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/30/90854/lipi_peran_perempuan_dalam_politik_terkendala_kultur/#.UNcOL3fbDQo, Internet, diakses 23 Desember 2012.
[1] Ester Mariani Ga. 1997. Partisipasi Politik
Perempuan : Antara Kewajiban dan Perjuangan Memperoleh Hak, Bina Darma
(Online), No.54, (http: isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5415978996.pdf, diakses 13 Desember 2012)
[3] Kuota 30 Persen Perempuan dalam Politik, Indosiar.com, (Berita Online), (http://www.indosiar.com/ragam/kuota-30-persen-perempuan-dalam-politik_75018.html, diakses
23 Desember 2012)
[4]Lena Maryana Mukti, Partisipasi Perempuan
dalam Partai Politik Sebuah Keniscayaan, Komnas Perempuan, (Artikel
Online), (www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2012/02/Kelompok-Kerja-Keterwakilan-Perempuan-Lena-Maryana-Mukti.pdf, diakses 23 Desember 2012)
[5] LIPI, Peran Perempuan
Dalam Politik Terkendala Kultur, Harian Analisa, (Artikel Online),(http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/30/90854/lipi_peran_perempuan_dalam_politik_terkendala_kultur/#.UNcOL3fbDQo, diakses 23 Desember 2012)
0 komentar:
Posting Komentar