Kamis, 03 Januari 2013

Filled Under:

NEGARA MADINAH DAN NEGARA INDONESIA

04.40




Indonesia adalah negara besar terdiri dari belasan ribu pulau dan empat ratus suku atau adat, kemajemukan Indonesia sangat beragam dan beraneka macam. Permasalahan Indonesia jelas lebih kompleks dibandingkan permasalahan negara-negara tetangga dan tantangan yang dihadapi lebih sulit. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah malang melintang memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan demi mencapai cita-cita yang didambakan oleh para pendiri bangsa. Di umur yang ke enam puluh tujuh tahun ini, Indonesia memimpikan terwujudnya masyarakat madani. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah konsep masyarakat yang menjungjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh pengusaan iman, ilmu, dan teknologi yang berperadaban. Menurut Nurcholish Majid, masyarakat madani berasal dari kata tamaddun (Arab) atau civility (Inggris), istilah ini mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial. (Ahmad Ubaedillah & Abdul Rozak, 2012 : 217) Sejalan dengan pemikiran Majid, Asrori mengemukakan sebagai berikut :
Masyarakat madani adalah masyarakat yang mengembangkan nilai-nilai modern, misalnya, penegakan supremasi hukum, keadilan, keterbukaan, partisipasi, egaliterianisme, penghargaan berdasarkan prestasi, dan masyarakat berketuhanan, contonya masyarakat Madinah di zaman Rasulullah. (1999 : 11)
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana menerapkan masyarakat madani di Indonesia apabila dikaitkan dengan UUD 1945, Pancasila, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) ?
            Berbicara tentang Indonesia, maka sama halnya berbicara tentang Islam di Indonesia, karena, Islam merupakan agama mayoritas di Ibu Pertiwi. Thomas W. Arnold mengatakan konsep ummah yang dikembangkan oleh Rasulullah S.A.W adalah konsep kehidupan dan berkebangsaan pertama dalam Islam dan pertama dalam sejarah kemanusiaan. ( Asrori S. Karin, 1999 : 11). Maka, ketika membahas tentang masyarakat madani haruslah hendaknya kita mengkaji konsep ummah yang dikembangkan Rasulullah di Madinah, kemudian disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural.
            Apabila berbicara mengenai ummah di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad S.A.W, maka Rasulullah menjadikan ajaran Islam erat kaitannya dengan masalah politik. Piagam Madinah atau “Mitsaq al-Madinah” dijadikan nabi sebagai  konstitusi Madinah, konstitusi ini merupakan rumusan tentang prinsip kesepakatan kaum Muslim Madinah di bawah Rasulullah S.A.W dengan berbagai kelompok bukan Muslim di kota Madinah, untuk membangun masyarakat politik bersama.[1] Para founding father sudah tepat ketika membentuk Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, karena sebuah negara sebagai lembaga yang memaksa harus memiliki landasan hukum yang kuat agar kelak tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Dengan demikian, langkah pertama yang dilakukan Indonesia sebagai sebuah negara sudah tepat.
            Untuk menjalankan konstitusi tersebut, negara harus memiliki sebuah ideologi atau identitas bangsa mencangkupi seluruh aspirasi masyarakat. Sebagai negara mayoritas Islam, Indonesia tak menjadikan agamanya sebagai ideologi negaranya, tetapi mengunakan Pancasila sebagai ideologi negara. Para pendiri bangsa menganggap keharusan menetapkan sebuah dasar negara yang mencangkup keseluruhan rakyat Indonesia, tidak hanya kaum muslimin sebab dalam perumusan sila pertama Pancasila terjadi perdebatan antara para nasionalis, Islamis, dan non-muslim. Berikut penjelasan mengenai sila pertama Pancasila :
Pada awalnya, sewaktu mengusulkan Ketuhanan sebagai salah satu prinsip dasar negara, Soekarno membayangkan, “prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi orang Indonesia ber-Tuhan”. Dia hanya menekankan bagaimana rakyat Indonesia mengamalkan dan menjalankan agama “dengan cara berkeadaban” saling menghormati satu sama lain. (As’ad Said Ali, 2009 : 118)
Akan tetapi, demi kemaslahatan bersama dan demi bersatunya Indonesia yang majemuk dan plural sila ke-Tuhanan yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, rumusan tersebut dikoreksi dan dicoret hanya tinggal “Ketuhanan” lalu ditambah oleh Ki Bagus Hadikoesomo, salah seorang tokoh Muhammadiyah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.[2] Perubahan sila ini merupakan sebuah prilaku yang patut diacungkan jempol, disebabkan kebesaran hati para Islamis menjadikan negara Indonesia bukan negara Islam tetapi negara yang berlandaskan kepada “Ketuhanan” atau “At-Tauhid” demi kemaslahatan bersama.
            Dasar negara Indonesia yang berlandaskan “At-Tauhid” merupakan salah satu unsur masyarakat madani yang terdapat pada negara Madinah dibawah komando Rasulullah, langkah para founding father tersebut patut diapresiasi. Betapa hebatnya pendiri bangsa ini menjadikan Pancasila sebagai nukhtatul liqo’ atau titik pertemuan, banyak negara dan intelektual  yang memuji Pancasila Indonesia. Bahkan, negara-negara Arab kesulitan antara mendirikan negara agama atau negara sekuler, tapi pendiri bangsa ini sangat dewasa dengan mengkolaborasikan keduanya menjadi satu menjadi negara nasional religius.[3]
            Konsep masyarakat yang dikembangkan dalam Al-Qur’an adalah model masyarakat mandiri yang mampu mengatur dirinya sendiri dengan minimal intervensi eksternal. Al-Qur’an memberi petunjuk beberapa mekanisme damai menyelesaikan masalah, yaitu, metode syura (musyawarah),[4] islah (rekonsiliasi),[5] dan dakwah bi al-hikmah wa al-mujadalah bi allati hiya ahsan (seruan dengan kebijaksanaan serta perundingan dengan cara yang baik).[6] Konsep ummah  tersebut sangat tercermin dalam kehidupan bermasyarakat madani di Madinah era Rasulullah yang plural dan majemuk.[7] Setelah membandingkan konsep ummah dalam Al-Quran dan masyarakat madani yang dimaksud dengan percontohan negara Madinah Rasulullah, Asrori S. Karni mengemukakan :
Dengan demikian, apabila merekonstruksi serius konsep ummah dengan perspektif civil society akan melahirkan pengembangkan fiqh siyasah. Fikih Siyasah lebih mengakui entitas masyarakat sebagai aktor yang sepadan dengan negara. Fikih siyasah yang menyadari bahwa situasi masyarakat akan sangat menentukan kondisi negara : hanya dalam masyarakat demokratis akan lahir negara yang demokratis.  Sebaliknya, masyarakat yang lemah dan chaos hanya akan memunculkan negara otoriter, diktator, dan totaliter.( 1999 : 13)
Senada dengan pendapat Karni, Nurcholish Majid juga mengemukakan prinsip dasar civil society dalam masyarakat Islam awal sangat hebat, hal ini dapat dilihat dari pidato Abu Bakar sesaat setelah diangkat menjadi khalifah yang intinya bahwa kekuasaan Abu Bakar adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan mutlak perorangan yang diktator dan otoriter[8]. Maka, menurut Robert N. Bellah sistem pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah melalui konsensus dan musyawarah sangatlah modern, bahkan saking modernnya tidak bertahan lama dan masyarakat Arab pada masa itu belum sanggup menerimanya sehingga sistem perpolitkan setelahnya mengunakan monarki. (Nurcholish Majid, 1999 : 168) Maka seiring berkembangnya zaman, maka peluang untuk mengembangkan masyarakat madani yang diajarkan Rasulullah terbuka luas pada saat ini. Pemilihan mengunakan konsensus dan prinsip-prinsip dasar civil society tersebut apabila dibandingkan dengan sistem pemerintahan sekarang, maka akan sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, sistem pemilihan berdasarkan kemampuan bukan keturunan. Memang antara demokrasi dan Islam terdapat perbedaan , namun, sekali lagi demi kemaslahatan bersama dan demi persatuan Indonesia diantara kemajemukan dan kepluralitasannya haruslah diciptakan sebuah sistem yang menaungi semua kepercayaan rakyat Indonesia, baik muslim maupun non-muslim. Oleh karena itu, demokrasi tetap merupakan jalan terbaik demi terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, cerdas, dan bermartabat. Alasan apa yang melandasi demokrasi jalan terbaik menuju masyarakat madani?
Ketika hijrah Rasulullah ke Yastrib, beliau mengubah nama kota tersebut menjadi Madinah yang  berarti kota. Namun, dalam bahasa Arab Madinah mengandung makna peradaban, selain kata “tamaddun” dan “hadlarah”. Dengan demikian, maka tujuan Rasulullah adalah membentuk dan membangun masyarakat peradaban. Tak lama setelah hijrah, Nabi meletakkan dasar-dasar masyarakat madani yang adil, terbuka, demokratis dan menjamin kebebasan.[9] Negara sebagai lembaga tertinggi yang bersifat memaksa dalam mewujudkan terciptanya masyarakat madani hendaknya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Negara harus mampu menjamin kebebasan rakyatnya untuk berprilaku dan menyuarakan aspirasi bebas tanpa rasa takut yang membayangi mereka setiap saat.
Dalam Hak Asasi Manusia, semua golongan manusia sama tidak ada yang powerfull dan powerless, semuanya sama dihadapan Tuhan. Maka dalam menerapkan prinsip-prinsip masyarakat madani, negara harus bisa menjamin bahwa semua orang sama di mata hukum tanpa ada unsur kolusi dan nepotisme. Penegakan keadilan harus merata, meskipun terhadap diri sendiri, kedua orang tua, keluarga.[10] Bahkan kepada orang yang kita benci, keadilan tetap harus tegak, meskipun merugikan kita.[11]( Nurcholish Majid, 1999 : 171-172) Akan tetapi, harus tetap disadari bahwa Rasulullahlah yang pertama kali mengajarkan Hak Asasi Manusia melalui Piagam Madinah yang menjamin kebebasan rakyat Madinah kala itu. Adapun menurut Hamid Fahmi Zarkasyi mengenai HAM dan negara ialah :
Behubungan HAM pertama kali merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa HAM tidak bersumber dari negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Fungsi negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut. (2012 :14)
Jadi, fungsi negara dalam kaitannya dengan HAM adalah menjamin dan melindungi rakyatnya agar hak yang diberikan Tuhan kepada segenap ciptaan-Nya dapat berjalan dan berlangsung dengan semestinya,
                Manusia pada dasarnya dilahirkan secara fitrah suci, akan tetapi pola lingkungan sekitarnya yang membentuk kepribadian manusia disamping pendidikan yang ditempuhnya. Sehingga, manusia dalam berprilaku kadang kala benar dan kadang kala salah, tidak selalu benar. Inilah bukti bahwa manusia tersebut lemah[12], maka dalam urusan masyarakat hendaknya manusia bermusyawarah dan bertukar fikiran satu sama lain[13]. Sebab, pemikiran sepuluh kepala lebih baik dibandingkan pemikiran satu kepala. Dalam hal musyawarah tersebut, hanya demokrasi yang menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat bukan atas keputusan sendiri yang otoriter, demi keuntungan pribadi yang bersifat sesaat.
            Indonesia sebagai negara telah memiliki semua prinsip-prinsip masyarakat madani yang dicontohkan oleh Rasulullah. Masalahnya adalah tinggal bagaimana sumber daya manusia Indonesia dididik agar memiliki jiwa-jiwa masyarakat madani di lubuk hatinya yang terdalam. Oleh karena itu, dengan keadaan bangsa yang carut marut ini hendaknya kita berfikir optimis bahwa suatu saat nanti akan lahir seorang pemimpin yang akan menuntun rakyat Indonesia menuju masyarakat madani yang adil, makmur, dan bermartabat. Amin Ya Robba-l-‘alamin.

 
DAFTAR PUSTAKA
Agil, As’ad Said,  Negara Pancasila : Jalan Kemaslahatan Bersama, Jakarta : Pustaka LP3ES, 2009.
Karni, Asrori S, Civil Society & Ummah Sintesa Diskursif Rumah Demokrasi,  Jakarta : Logos, 1999.
Majid, Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta : Paramadina Press, 1999.
Ubaedillah, Ahmad & Rozak, Abdul, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta : Predana Media Group, 2012.
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Islam HAM dan Kebebasan Beragama, Jakarta : INSISTS , 2011.


[1] Nurcholish Majid. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta : Paramadina Press, 1999 ), h. 50.
[2] As’ad Said Agil,  Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bersama, (Jakarta : Pustaka LP3ES, 2009 ), h. 119.
[3] Ibid, h. vii-xi
[4] Q.S. Ali Imran/ 3: 159 atau Q.S. Al- Syu’ara/26:58
[5] Q.S. Al-Hujarat/ 49:9
[6] Q.S. Al-Nahl/16 :125
[7] Asrori S.Karni. Civil Society & Ummah Sintesa Diskursif Rumah Demokrasi, (Jakarta : Logos, 1999) , h. 10.
[8] Nurcholish Majid. , op.cit., hlm. xxiv.
[9] Nurcholish Majid. , op.cit., hlm. 164-167.
[10] Q.S. An-Nisaa/ 4:135
[11] Q.S. Al-Maidah/ 5:8
[12] Q.S. An-Nisaa/ 4: 28
[13] Nurcholish Majid. , op.cit., hlm. 176-178.

0 komentar:

Posting Komentar