Indonesia adalah negara besar terdiri dari
belasan ribu pulau dan empat ratus suku atau adat, kemajemukan Indonesia sangat
beragam dan beraneka macam. Permasalahan Indonesia jelas lebih kompleks
dibandingkan permasalahan negara-negara tetangga dan tantangan yang dihadapi
lebih sulit. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
Indonesia telah malang melintang memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan demi
mencapai cita-cita yang didambakan oleh para pendiri bangsa. Di umur yang ke
enam puluh tujuh tahun ini, Indonesia memimpikan terwujudnya masyarakat madani.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah konsep masyarakat yang
menjungjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh pengusaan iman, ilmu,
dan teknologi yang berperadaban. Menurut Nurcholish Majid, masyarakat madani
berasal dari kata tamaddun (Arab) atau civility (Inggris), istilah ini
mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai
macam pandangan politik dan tingkah laku sosial. (Ahmad Ubaedillah & Abdul
Rozak, 2012 : 217) Sejalan dengan pemikiran Majid, Asrori mengemukakan sebagai
berikut :
Masyarakat madani adalah masyarakat yang mengembangkan
nilai-nilai modern, misalnya, penegakan supremasi hukum, keadilan, keterbukaan,
partisipasi, egaliterianisme, penghargaan berdasarkan prestasi, dan masyarakat
berketuhanan, contonya masyarakat Madinah di zaman Rasulullah. (1999 : 11)
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana
menerapkan masyarakat madani di Indonesia apabila dikaitkan dengan UUD 1945, Pancasila,
demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) ?
Berbicara
tentang Indonesia, maka sama halnya berbicara tentang Islam di Indonesia,
karena, Islam merupakan agama mayoritas di Ibu Pertiwi. Thomas W. Arnold
mengatakan konsep ummah yang dikembangkan oleh Rasulullah S.A.W adalah
konsep kehidupan dan berkebangsaan pertama dalam Islam dan pertama dalam
sejarah kemanusiaan. ( Asrori S. Karin, 1999 : 11). Maka, ketika membahas
tentang masyarakat madani haruslah hendaknya kita mengkaji konsep ummah yang
dikembangkan Rasulullah di Madinah, kemudian disesuaikan dengan keadaan
masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural.
Apabila
berbicara mengenai ummah di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad
S.A.W, maka Rasulullah menjadikan ajaran Islam erat kaitannya dengan masalah
politik. Piagam Madinah atau “Mitsaq al-Madinah” dijadikan nabi sebagai konstitusi Madinah, konstitusi ini merupakan
rumusan tentang prinsip kesepakatan kaum Muslim Madinah di bawah Rasulullah
S.A.W dengan berbagai kelompok bukan Muslim di kota Madinah, untuk membangun
masyarakat politik bersama.[1]
Para founding father sudah tepat ketika membentuk Undang-Undang Dasar
1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, karena sebuah negara sebagai lembaga
yang memaksa harus memiliki landasan hukum yang kuat agar kelak tercipta
masyarakat yang adil dan makmur. Dengan demikian, langkah pertama yang
dilakukan Indonesia sebagai sebuah negara sudah tepat.
Untuk
menjalankan konstitusi tersebut, negara harus memiliki sebuah ideologi atau
identitas bangsa mencangkupi seluruh aspirasi masyarakat. Sebagai negara
mayoritas Islam, Indonesia tak menjadikan agamanya sebagai ideologi negaranya,
tetapi mengunakan Pancasila sebagai ideologi negara. Para pendiri bangsa
menganggap keharusan menetapkan sebuah dasar negara yang mencangkup keseluruhan
rakyat Indonesia, tidak hanya kaum muslimin sebab dalam perumusan sila pertama Pancasila
terjadi perdebatan antara para nasionalis, Islamis, dan non-muslim. Berikut
penjelasan mengenai sila pertama Pancasila :
Pada awalnya, sewaktu mengusulkan Ketuhanan sebagai salah
satu prinsip dasar negara, Soekarno membayangkan, “prinsip Ketuhanan! Bukan
saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi orang Indonesia ber-Tuhan”. Dia hanya
menekankan bagaimana rakyat Indonesia mengamalkan dan menjalankan agama “dengan
cara berkeadaban” saling menghormati satu sama lain. (As’ad Said Ali, 2009 :
118)
Akan tetapi, demi kemaslahatan bersama dan
demi bersatunya Indonesia yang majemuk dan plural sila ke-Tuhanan yang berbunyi
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,
rumusan tersebut dikoreksi dan dicoret hanya tinggal “Ketuhanan” lalu ditambah
oleh Ki Bagus Hadikoesomo, salah seorang tokoh Muhammadiyah menjadi “Ketuhanan
yang Maha Esa”.[2]
Perubahan sila ini merupakan sebuah prilaku yang patut diacungkan jempol,
disebabkan kebesaran hati para Islamis menjadikan negara Indonesia bukan negara
Islam tetapi negara yang berlandaskan kepada “Ketuhanan” atau “At-Tauhid” demi
kemaslahatan bersama.
Dasar
negara Indonesia yang berlandaskan “At-Tauhid” merupakan salah satu unsur masyarakat
madani yang terdapat pada negara Madinah dibawah komando Rasulullah, langkah
para founding father tersebut patut diapresiasi. Betapa hebatnya pendiri
bangsa ini menjadikan Pancasila sebagai nukhtatul liqo’ atau titik
pertemuan, banyak negara dan intelektual
yang memuji Pancasila Indonesia. Bahkan, negara-negara Arab kesulitan
antara mendirikan negara agama atau negara sekuler, tapi pendiri bangsa ini
sangat dewasa dengan mengkolaborasikan keduanya menjadi satu menjadi negara
nasional religius.[3]
Konsep
masyarakat yang dikembangkan dalam Al-Qur’an adalah model masyarakat mandiri
yang mampu mengatur dirinya sendiri dengan minimal intervensi eksternal.
Al-Qur’an memberi petunjuk beberapa mekanisme damai menyelesaikan masalah,
yaitu, metode syura (musyawarah),[4] islah
(rekonsiliasi),[5]
dan dakwah bi al-hikmah wa al-mujadalah bi allati hiya ahsan (seruan
dengan kebijaksanaan serta perundingan dengan cara yang baik).[6]
Konsep ummah tersebut sangat
tercermin dalam kehidupan bermasyarakat madani di Madinah era Rasulullah yang
plural dan majemuk.[7]
Setelah membandingkan konsep ummah dalam Al-Quran dan masyarakat madani yang
dimaksud dengan percontohan negara Madinah Rasulullah, Asrori S. Karni
mengemukakan :
Dengan demikian, apabila merekonstruksi serius konsep ummah
dengan perspektif civil society akan melahirkan pengembangkan fiqh
siyasah. Fikih Siyasah lebih mengakui entitas masyarakat sebagai aktor yang
sepadan dengan negara. Fikih siyasah yang menyadari bahwa situasi masyarakat
akan sangat menentukan kondisi negara : hanya dalam masyarakat demokratis akan
lahir negara yang demokratis.
Sebaliknya, masyarakat yang lemah dan chaos hanya akan
memunculkan negara otoriter, diktator, dan totaliter.( 1999 : 13)
Senada dengan pendapat Karni, Nurcholish Majid
juga mengemukakan prinsip dasar civil society dalam masyarakat Islam awal
sangat hebat, hal ini dapat dilihat dari pidato Abu Bakar sesaat setelah
diangkat menjadi khalifah yang intinya bahwa kekuasaan Abu Bakar adalah
kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan mutlak perorangan yang diktator dan
otoriter[8].
Maka, menurut Robert N. Bellah sistem pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah
melalui konsensus dan musyawarah sangatlah modern, bahkan saking modernnya
tidak bertahan lama dan masyarakat Arab pada masa itu belum sanggup menerimanya
sehingga sistem perpolitkan setelahnya mengunakan monarki. (Nurcholish Majid,
1999 : 168) Maka seiring berkembangnya zaman, maka peluang untuk mengembangkan
masyarakat madani yang diajarkan Rasulullah terbuka luas pada saat ini. Pemilihan
mengunakan konsensus dan prinsip-prinsip dasar civil society tersebut
apabila dibandingkan dengan sistem pemerintahan sekarang, maka akan sesuai
dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, sistem pemilihan
berdasarkan kemampuan bukan keturunan. Memang antara demokrasi dan Islam
terdapat perbedaan , namun, sekali lagi demi kemaslahatan bersama dan demi
persatuan Indonesia diantara kemajemukan dan kepluralitasannya haruslah
diciptakan sebuah sistem yang menaungi semua kepercayaan rakyat Indonesia, baik
muslim maupun non-muslim. Oleh karena itu, demokrasi tetap merupakan jalan
terbaik demi terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, cerdas, dan
bermartabat. Alasan apa yang melandasi demokrasi jalan terbaik menuju
masyarakat madani?
Ketika hijrah Rasulullah ke Yastrib, beliau
mengubah nama kota tersebut menjadi Madinah yang berarti kota. Namun, dalam bahasa Arab
Madinah mengandung makna peradaban, selain kata “tamaddun” dan “hadlarah”.
Dengan demikian, maka tujuan Rasulullah adalah membentuk dan membangun
masyarakat peradaban. Tak lama setelah hijrah, Nabi meletakkan dasar-dasar
masyarakat madani yang adil, terbuka, demokratis dan menjamin kebebasan.[9]
Negara sebagai lembaga tertinggi yang bersifat memaksa dalam mewujudkan
terciptanya masyarakat madani hendaknya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Negara harus mampu menjamin kebebasan rakyatnya untuk berprilaku dan
menyuarakan aspirasi bebas tanpa rasa takut yang membayangi mereka
setiap saat.
Dalam Hak Asasi Manusia, semua golongan
manusia sama tidak ada yang powerfull dan powerless, semuanya sama dihadapan
Tuhan. Maka dalam menerapkan prinsip-prinsip masyarakat madani, negara harus
bisa menjamin bahwa semua orang sama di mata hukum tanpa ada unsur kolusi dan
nepotisme. Penegakan keadilan harus merata, meskipun terhadap diri sendiri,
kedua orang tua, keluarga.[10]
Bahkan kepada orang yang kita benci, keadilan tetap harus tegak, meskipun
merugikan kita.[11](
Nurcholish Majid, 1999 : 171-172) Akan tetapi, harus tetap disadari bahwa
Rasulullahlah yang pertama kali mengajarkan Hak Asasi Manusia melalui Piagam
Madinah yang menjamin kebebasan rakyat Madinah kala itu. Adapun menurut Hamid
Fahmi Zarkasyi mengenai HAM dan negara ialah :
Behubungan HAM pertama kali merupakan hak-hak dasar yang
dibawa manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa
HAM tidak bersumber dari negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari
Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Fungsi negara dan hukum adalah suatu
pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut. (2012 :14)
Jadi, fungsi negara dalam kaitannya dengan HAM
adalah menjamin dan melindungi rakyatnya agar hak yang diberikan Tuhan kepada
segenap ciptaan-Nya dapat berjalan dan berlangsung dengan semestinya,
Manusia pada dasarnya dilahirkan secara fitrah
suci, akan tetapi pola lingkungan sekitarnya yang membentuk kepribadian manusia
disamping pendidikan yang ditempuhnya. Sehingga, manusia dalam berprilaku
kadang kala benar dan kadang kala salah, tidak selalu benar. Inilah bukti bahwa
manusia tersebut lemah[12],
maka dalam urusan masyarakat hendaknya manusia bermusyawarah dan bertukar
fikiran satu sama lain[13].
Sebab, pemikiran sepuluh kepala lebih baik dibandingkan pemikiran satu kepala.
Dalam hal musyawarah tersebut, hanya demokrasi yang menjunjung tinggi
musyawarah untuk mufakat bukan atas keputusan sendiri yang otoriter, demi
keuntungan pribadi yang bersifat sesaat.
Indonesia
sebagai negara telah memiliki semua prinsip-prinsip masyarakat madani yang
dicontohkan oleh Rasulullah. Masalahnya adalah tinggal bagaimana sumber daya
manusia Indonesia dididik agar memiliki jiwa-jiwa masyarakat madani di lubuk
hatinya yang terdalam. Oleh karena itu, dengan keadaan bangsa yang carut marut
ini hendaknya kita berfikir optimis bahwa suatu saat nanti akan lahir seorang
pemimpin yang akan menuntun rakyat Indonesia menuju masyarakat madani yang
adil, makmur, dan bermartabat. Amin Ya Robba-l-‘alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Agil, As’ad Said, Negara Pancasila : Jalan Kemaslahatan
Bersama, Jakarta : Pustaka LP3ES, 2009.
Karni, Asrori S, Civil Society & Ummah
Sintesa Diskursif Rumah Demokrasi,
Jakarta : Logos, 1999.
Majid, Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam Era
Reformasi, Jakarta : Paramadina Press, 1999.
Ubaedillah, Ahmad & Rozak, Abdul,
Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta : Predana
Media Group, 2012.
Zarkasyi,
Hamid Fahmi, Islam HAM dan Kebebasan Beragama, Jakarta : INSISTS , 2011.
[1] Nurcholish Majid. Cita-Cita
Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta : Paramadina Press, 1999 ), h. 50.
[2] As’ad Said Agil, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan
Bersama, (Jakarta : Pustaka LP3ES, 2009 ), h. 119.
[7] Asrori S.Karni. Civil
Society & Ummah Sintesa Diskursif Rumah Demokrasi, (Jakarta : Logos,
1999) , h. 10.
0 komentar:
Posting Komentar