Kamis, 03 Januari 2013

Filled Under:

MASYARAKAT MADANI : ANTARA KAMPUS, DOSEN DAN MAHASISWA

04.44



            Berbicara mengenai masyarakat madani sama saja berbicara mengenai masyarakat yang dibangun Rasulullah di kota Madinah. Masyarakat kala itu adalah masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, dan toleransi di antara kemajemukan mereka. Proses demokratisasi Indonesia pernah mengalami masa surut, pada era Orde Baru (1967-1998) rakyat Indonesia tidak dapat merealisasikan beberapa prinsip demokrasi seperti kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapan, dan kebebasan berpartisipasi dalam politik. Momentum Reformasi dijadikan bantu loncatan bagi masyarakat Indonesia untuk berekperimen merevitalisasi niali-nilai demokrasi yang hilang pada era Orde Baru. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya ratusan partai politik dan ratusan media masaa. Dalam segi kuantitas partisipasi politik Indonesia meningkat signifikan baik di pusat maupun di daerah.[1]
            Hancurnya rezim Suhatro tidak dapat dipisahkan dari perjuangan mahasiswa untuk menghidupkan kembali nilai demokrasi yang mulai pudar. Mahasiswa menjadi motor penggerakan reformasi, mereka merupakan golongan yang paling lantang menyuarakan agenda reformasi. Adanya semangat darah muda yang mengalir di tubuh mahasiswa untuk menegakkan cita-cita demokrasi melahirkan pergerakan secara bertahap dimulai dari kampus. Kampus menjadi tempat pertama bagi pertumbuhan gagasan reformasi dan gerakan perjuangan mengkudeta rezim tirani.
            Setelah runtuhnya rezim Orde baru lahirlah era Reformasi, muncul wacana masyarakat madani pada akhir pemerintahan Orde Baru, hal ini merupakan dampak dari giatnya rakyat Eropa Timur menghidupkan kembali prinsip demokrasi. Persamaan kondisi sosial dan politik menjadi latar belakang menguatnya wacana masyarakat madani dan proses demokratisasi politik Indonesia sebagaimana yang terjadi di Eropa Timur.[2] Lalu, bagaimana peran perguruan tinggi (mahasiswa dan dosen) dalam merealisasikan masyarakat madani di Indonesia?
Seiring perkembangan zaman maka dunia menuju sebuah perkampungan global (global village) di mana interaksi manusia berlangsung tanpa batas geografis (Ahmad Ubaedillah & Abdul Rozak, 2012 : 55). Globalisasi melahirkan ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya semakin menguat, untuk memenuhi kehidupan yang akan mendatang diperlukan manusia-manusia yang mempunyai visi baru sesuai cita-cita kemanusiaan (H.A.R. Tilaar, 1999 : 147). Maka untuk membangun bangsa yang hebat dan makmur yang sesuai melalui masyarakat madani dibutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni. Untuk membentuk sumber daya alam tersebut, diperlukan sebuah sistem pendidikan yang dapat melahirkan manusia-manusia yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi.
Prioritas yang harus diutamakan agar masyarakat madani dapat terbentuk adalah memberdayakan dan membina kelas menengah yang independen. Mereka adalah pengusaha, kaum cendekiawan, professional atau ulama dan pemuka agama yang berjuang atas nama rakyat bukan mereka yang terintervensi para elite politik. Pemberdayaan dan pembinaan mereka melaui pembangunan ekonomi dan meningkatkan mutu pendidikan. Adapun mahasiswa, sebagai calon cendekiawan dan intelektual kelak harus dibina agar para pelajar tersebut dapat menerapkan nilai-nilai masyarakat madani. Pembinaan tersebut amat sangat penting, hal ini disebabkan negara Indonesia lahir dari perjuangan kaum-kaum elite terpelajar yang terdidik kemudian mereka menjadi pelopor gerakan kebangkitan nasional. Sebut saja, organisasi Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah dan lain-lain.[3]
Pada era Reformasi masyarakat Indonesia menginginkan terwujudnya suatu masyarakat baru, yakni masyarakat terbuka, maju, dan modern yang ingin meninggalkan pola-pola kehidupan masyarakat orde baru. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat madani (civil society), demi terwujudnya civil socety pendidikan merupakan salah satu cara mencapainya (H.A.R. Tilaar, 1999 : 145). Pendidikan adalah wujud konkrit dalam pembentukan masyarakat madani yang berkeadaban dengan penanaman nilai-nilai kebudayaan dan toleransi.
Sebelum membahas pendidikan lebih jauh, saya ingin membedakan antara pendidikan dan pengajaran. Terdapat banyak kesalahpahaman mengenai keduanya, banyak yang mengatakan keduanya tak jauh berbeda, padahal sejatinya kedua hal ini berbeda dalam arti dan definisi. Pengajaran secara definisi adalah penyampaian pengetahuan dari pengajar (guru atau dosen) kepada anak didik (siswa atau mahasiswa) dengan maksud agar anak didik paham dan mengerti maklumat baru. Adapun pendidikan adalah membentuk sesuatu secara perlahan-lahan sampai sesuatu tersebut mendekati kesempurnaan. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan memiliki kesulitan yang lebih kompleks dibanding pengajaran, hal ini dikarenakan pendidikan lebih meniitik beratkan kepada pembentukan karakter demi kejayaan umat.[4]
Pendidikan untuk membentuk masyarakat madani memang tidak ada, namun, pendidikan merupakan bagian dari integral dan kegiatan resiprokal dari masyarakat dan kebudayaan, maka lebih tepatnya adalah pendidikan dalam masyarakat madani. Pendidikan yang dimaksud ialah proses pendidikan yang mengakui akan hak-hak serta kewajiban perorangan di dalam masyarakat (H.A.R. Tilaar, 1999 :167 ). Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tertinggi di Indonesia memiliki andil besar demi terciptanya masyarakat madani. Hal ini disebabkan, anak didik pada tingkat perguruan tinggi adalah mahasiswa yang memiliki keunikan di antara masyarakat lain.[5]
            Keunikan tersebut adalah kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas komunitas masyarakat. Mahasiswa memiliki semangat yang mengebu-gebu, jiwa pemuda, posisi mereka setingkat di atas masyarakat biasa dan setingkat dibawah pemerintah sebagai golongan elite (atas). Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnyalah bila mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat.[6]
            Presiden Sukarno pernah berucap, “berikan aku sepuluh pemuda maka akan aku guncangkan dunia”, ucapan ini mengelegar dan mengaung di hadapan ribuan rakyat Indonesia. Sukarno sendiri mengakui hebatnya pemuda, mahasiswa sebagai bagian dari pemuda dapat menjadi Iron Stock, mereka merupaka aset bangsa yang paling berharga dan di tangan mereka harapan bangsa. Hal ini sesuai dengan pepatah Arab[7] yang artinya sesunguhnya di tangan para pemuda kepentingan (harapan) umat dan pada pundak mereka keberlangsungan umat. Oleh karena itu, kampus merupakan tempat terbaik dalam mendidik dan mengajarkan mahasiswa nilai-nilai civil society, dunia kampus dan kemahasiswaan adalah panggung kaderisasi demi lahirnya para kader-kader calon penerus bangsa[8]. Bangsa yang hebat bukanlah bangsa yang kuat, tetapi bangsa yang melalui sistemnya dapat menciptakan dan melahirkan kader-kader calon penerus bangsa selanjutnya, yang demokratis dan menjunjung prinsip-prinsip civil society.
            Selain sebagai Iron Stock, mahasiswa juga berperan sebagai Agent of Change, istilah ini sering terdengar di telinga mahasiswa. Namun, hanya sedikit yang sadar perannya sebagai agen perubahan menuju masa depan yang cerah. Seperti kita ketahui, bangsa Indonesia telah terkena penyakit akut yang melapisi semua kehidupan bangsa, dari pejabat hingga kalangan bawah. Lalu, akankah kita semua berdiam diri tak melakukan satu hal pun, Allah berfirman[9] bahwa Dia tak akan mengubah suatu kaum sampai kaum tersebut yang mengubah keadaan mereka dengan mencari sebab-sebab kemunduran kaum tersebut. Darah yang mengalir pada mahasiswa adalah darah muda, darah untuk selalu berjuang, melakukan perubahan dan tak kenal lelah. Mahasiswa harus berdiri di garda terdepan menyuarakan perubahan dan hijrah menuju kebaikan, namun, semua pergerakan tersebut hendaknya dimulai dari ruang ringkup tang paling kecil, dimulai dari diri sendiri, lalu keluarga, kampus, kemudian melakukan perubahan ke ruang lingkup terbesar yakni bangsa dan negara Indonesia.[10]
            Pendidikan pada perguruang tinggi dalam rangka membangun nilai-nilai civil society juga harus dilaksanakan oleh para dosen. Dosen memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian mahasiswa dan kemajuan perguruan tinggi. Pada perguruan tinggi dosen memiliki peran sebagai informatory, yakni pemberi informasi kepada mahasiswa, sebagai transmitter yaitu orang yang memindahkan pengetahuan atau sebagai pengajar, sebagai motivator yakni orang yang memberi dorongan semangat para mahasiswa untuk berubah menuju kebaikan, dan sebagai fasilitator yaitu orang yang memberi kemudahan mahasiswa dalam mendapatkan ilmu melalui sharing dan bertukar pendapat.[11]
            Setelah memaparkan peran dan fungsi mahasiswa dan dosen dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society), dapat di tarik kesimpulan bahwa antara mahasiswa dan dosen memiliki kesinambungan yang kuat dan saling berkaitan satu sama lain. Dosen tidak dapat berdiri sendiri tanpa mahasiswa, begitu pula mahasiswa tidak dapat berdiri sendiri tanpa dosen. Kampus sebagai tempat lahirnya calon kelas menengah harus memahami arti kehadiran keduanya, melalui koordinasi dan keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan senat dan kegiatan ekstra kampus. Hal ini dikarenakan, dunia kampus dan mahasiswa merupakan ladang pengkaderan terbaik demi lahirnya calon intelektual dan cendekiawan yang dapat meneruskan tongkat estafet para pendahulunya demi terciptanya masyarakat madani, yang adil, makmur, dan bermartabat.   
  
DAFTAR PUSTAKA
__________, Peran Mahasiswa dalam Pembangunan ,Disampaikan dalam PPA UMS 2007/2008, (artikel on-line); tersedia di http://agus34drajat.files.wordpress.com/2011/09/peran-mahasiswa-dalam-pembangunan.pdf ; Internet diunduh pada 26 Desember 2012
Albayumi, Fuad , Masyarakat Madani (Civil Society) dan Demokratisasi Politik di  Indonesia Pasca Orde Baru, Aspirasi, Vol. XVII, No.1 Juli 2007 (jurnal on-line) ; tersedia di http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/171072132.pdf ; Internet diunduh pada 20 Desember 2012.
Martha, Peran Perguruan Tinggi dalam Membentuk Pribadi , (Artikel on-line) ; tersedia di http://www.stiks-tarakanita.ac.id/files/Jurnal%20Vol.%201%20No.%201/51.%20Peran%20Perguruan%20Tinggi%20dalam%20Membentuk%20Pribadi%20(Martha).pdf; Internet diunduh pada 26 Desember 2012.
Raharjo, Dawam, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, Jakarta : LP3ES, 1999.
Tim Kurikulum KMI, Pendidikan dan Pengajaran II, Ponorogo : Darussalam Press, 2009.
Tilaar, H.A.R, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung : Rosda, 1999.
Ubaedillah, Ahmad & Rozak, Abdul, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta : Predana Media Group, 2012.


[1] Fuad Albayumi. “Masyarakat Madani (Civil Society) dan Demokratisasi Politik di  Indonesia Pasca Orde Baru”, Aspirasi, Vol. XVII, No.1 Juli 2007 (jurnal on-line) , hlm. 22.; tersedia di isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/171072132.pdf ;  Internet diunduh pada 20 Desember 2012.
[2] Ibid. hlm. 22.
[3] Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial”, ( Jakarta : LP3ES, 1999), h. 232-233.
[4] Bagian Kurikulum KMI, “Pendidikan dan Pengajaran II”,( Ponorogo : Darussalam Press, 2009) h. 1-2
[5] Peran Mahasiswa dalam Pembangunan ,Disampaikan dalam PPA UMS 2007/2008
[6] Ibid, hlm.
[7]حَيَا تَهُمْ (المحفوظات)   إِنَّ فِى يَدِ الشُّبَانِ أَمْرُ الأُمّةِ # وَ فِى أَ قْدَامِهِمْ
[8] Ibid, hlm
[9] Q.S. Ar-Raad / 13 : 11
[10] Ibid, hlm
[11] Peran Perguruan Tinggi dalam Membentuk Pribadi”

0 komentar:

Posting Komentar