Berbicara mengenai masyarakat madani sama saja
berbicara mengenai masyarakat yang dibangun Rasulullah di kota Madinah.
Masyarakat kala itu adalah masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi
nilai-nilai agama, dan toleransi di antara kemajemukan mereka. Proses
demokratisasi Indonesia pernah mengalami masa surut, pada era Orde Baru
(1967-1998) rakyat Indonesia tidak dapat merealisasikan beberapa prinsip
demokrasi seperti kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapan,
dan kebebasan berpartisipasi dalam politik. Momentum Reformasi dijadikan bantu
loncatan bagi masyarakat Indonesia untuk berekperimen merevitalisasi
niali-nilai demokrasi yang hilang pada era Orde Baru. Hal ini dibuktikan dengan
lahirnya ratusan partai politik dan ratusan media masaa. Dalam segi kuantitas
partisipasi politik Indonesia meningkat signifikan baik di pusat maupun di
daerah.[1]
Hancurnya
rezim Suhatro tidak dapat dipisahkan dari perjuangan mahasiswa untuk
menghidupkan kembali nilai demokrasi yang mulai pudar. Mahasiswa menjadi motor penggerakan
reformasi, mereka merupakan golongan yang paling lantang menyuarakan agenda
reformasi. Adanya semangat darah muda yang mengalir di tubuh mahasiswa untuk
menegakkan cita-cita demokrasi melahirkan pergerakan secara bertahap dimulai
dari kampus. Kampus menjadi tempat pertama bagi pertumbuhan gagasan reformasi
dan gerakan perjuangan mengkudeta rezim tirani.
Setelah
runtuhnya rezim Orde baru lahirlah era Reformasi, muncul wacana masyarakat
madani pada akhir pemerintahan Orde Baru, hal ini merupakan dampak dari giatnya
rakyat Eropa Timur menghidupkan kembali prinsip demokrasi. Persamaan kondisi
sosial dan politik menjadi latar belakang menguatnya wacana masyarakat madani
dan proses demokratisasi politik Indonesia sebagaimana yang terjadi di Eropa
Timur.[2] Lalu,
bagaimana peran perguruan tinggi (mahasiswa dan dosen) dalam merealisasikan masyarakat
madani di Indonesia?
Seiring perkembangan zaman maka dunia menuju
sebuah perkampungan global (global village) di mana interaksi manusia
berlangsung tanpa batas geografis (Ahmad Ubaedillah & Abdul Rozak, 2012 :
55). Globalisasi melahirkan ketergantungan antara satu negara dengan negara
lainnya semakin menguat, untuk memenuhi kehidupan yang akan mendatang
diperlukan manusia-manusia yang mempunyai visi baru sesuai cita-cita
kemanusiaan (H.A.R. Tilaar, 1999 : 147). Maka untuk membangun bangsa yang hebat
dan makmur yang sesuai melalui masyarakat madani dibutuhkan sumber daya manusia
yang mumpuni. Untuk membentuk sumber daya alam tersebut, diperlukan sebuah
sistem pendidikan yang dapat melahirkan manusia-manusia yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip demokrasi.
Prioritas yang harus diutamakan agar
masyarakat madani dapat terbentuk adalah memberdayakan dan membina kelas
menengah yang independen. Mereka adalah pengusaha, kaum cendekiawan,
professional atau ulama dan pemuka agama yang berjuang atas nama rakyat bukan
mereka yang terintervensi para elite politik. Pemberdayaan dan pembinaan mereka
melaui pembangunan ekonomi dan meningkatkan mutu pendidikan. Adapun mahasiswa,
sebagai calon cendekiawan dan intelektual kelak harus dibina agar para pelajar
tersebut dapat menerapkan nilai-nilai masyarakat madani. Pembinaan tersebut
amat sangat penting, hal ini disebabkan negara Indonesia lahir dari perjuangan
kaum-kaum elite terpelajar yang terdidik kemudian mereka menjadi pelopor
gerakan kebangkitan nasional. Sebut saja, organisasi Budi Utomo, Sarekat Islam,
Muhammadiyah dan lain-lain.[3]
Pada era Reformasi masyarakat Indonesia
menginginkan terwujudnya suatu masyarakat baru, yakni masyarakat terbuka, maju,
dan modern yang ingin meninggalkan pola-pola kehidupan masyarakat orde baru.
Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat madani (civil society), demi
terwujudnya civil socety pendidikan merupakan salah satu cara mencapainya
(H.A.R. Tilaar, 1999 : 145). Pendidikan adalah wujud konkrit dalam pembentukan
masyarakat madani yang berkeadaban dengan penanaman nilai-nilai kebudayaan dan
toleransi.
Sebelum membahas pendidikan lebih jauh, saya
ingin membedakan antara pendidikan dan pengajaran. Terdapat banyak
kesalahpahaman mengenai keduanya, banyak yang mengatakan keduanya tak jauh
berbeda, padahal sejatinya kedua hal ini berbeda dalam arti dan definisi. Pengajaran
secara definisi adalah penyampaian pengetahuan dari pengajar (guru atau dosen)
kepada anak didik (siswa atau mahasiswa) dengan maksud agar anak didik paham
dan mengerti maklumat baru. Adapun pendidikan adalah membentuk sesuatu secara
perlahan-lahan sampai sesuatu tersebut mendekati kesempurnaan. Dari definisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan memiliki kesulitan yang lebih
kompleks dibanding pengajaran, hal ini dikarenakan pendidikan lebih meniitik
beratkan kepada pembentukan karakter demi kejayaan umat.[4]
Pendidikan untuk membentuk masyarakat madani
memang tidak ada, namun, pendidikan merupakan bagian dari integral dan kegiatan
resiprokal dari masyarakat dan kebudayaan, maka lebih tepatnya adalah
pendidikan dalam masyarakat madani. Pendidikan yang dimaksud ialah proses
pendidikan yang mengakui akan hak-hak serta kewajiban perorangan di dalam
masyarakat (H.A.R. Tilaar, 1999 :167 ). Perguruan tinggi sebagai lembaga
pendidikan tertinggi di Indonesia memiliki andil besar demi terciptanya
masyarakat madani. Hal ini disebabkan, anak didik pada tingkat perguruan tinggi
adalah mahasiswa yang memiliki keunikan di antara masyarakat lain.[5]
Keunikan
tersebut adalah kesempatan dan
kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas komunitas
masyarakat. Mahasiswa memiliki semangat yang mengebu-gebu, jiwa pemuda, posisi
mereka setingkat di atas masyarakat biasa dan setingkat dibawah pemerintah
sebagai golongan elite (atas). Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang
dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnyalah bila mahasiswa hanya mementingkan
kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap bangsa dan
negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan
pula rakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di
lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat.[6]
Presiden
Sukarno pernah berucap, “berikan aku sepuluh pemuda maka akan aku guncangkan
dunia”, ucapan ini mengelegar dan mengaung di hadapan ribuan rakyat Indonesia.
Sukarno sendiri mengakui hebatnya pemuda, mahasiswa sebagai bagian dari pemuda
dapat menjadi Iron Stock, mereka merupaka aset bangsa yang paling
berharga dan di tangan mereka harapan bangsa. Hal ini sesuai dengan pepatah
Arab[7]
yang artinya sesunguhnya di tangan para pemuda kepentingan (harapan) umat dan
pada pundak mereka keberlangsungan umat. Oleh karena itu, kampus merupakan
tempat terbaik dalam mendidik dan mengajarkan mahasiswa nilai-nilai civil
society, dunia kampus dan kemahasiswaan adalah panggung kaderisasi demi
lahirnya para kader-kader calon penerus bangsa[8].
Bangsa yang hebat bukanlah bangsa yang kuat, tetapi bangsa yang melalui
sistemnya dapat menciptakan dan melahirkan kader-kader calon penerus bangsa
selanjutnya, yang demokratis dan menjunjung prinsip-prinsip civil society.
Selain
sebagai Iron Stock, mahasiswa juga berperan sebagai Agent of Change, istilah
ini sering terdengar di telinga mahasiswa. Namun, hanya sedikit yang sadar
perannya sebagai agen perubahan menuju masa depan yang cerah. Seperti kita
ketahui, bangsa Indonesia telah terkena penyakit akut yang melapisi semua
kehidupan bangsa, dari pejabat hingga kalangan bawah. Lalu, akankah kita semua
berdiam diri tak melakukan satu hal pun, Allah berfirman[9]
bahwa Dia tak akan mengubah suatu kaum sampai kaum tersebut yang mengubah
keadaan mereka dengan mencari sebab-sebab kemunduran kaum tersebut. Darah yang
mengalir pada mahasiswa adalah darah muda, darah untuk selalu berjuang,
melakukan perubahan dan tak kenal lelah. Mahasiswa harus berdiri di garda
terdepan menyuarakan perubahan dan hijrah menuju kebaikan, namun, semua
pergerakan tersebut hendaknya dimulai dari ruang ringkup tang paling kecil,
dimulai dari diri sendiri, lalu keluarga, kampus, kemudian melakukan perubahan
ke ruang lingkup terbesar yakni bangsa dan negara Indonesia.[10]
Pendidikan
pada perguruang tinggi dalam rangka membangun nilai-nilai civil society
juga harus dilaksanakan oleh para dosen. Dosen memiliki
peran penting dalam pembentukan kepribadian mahasiswa dan kemajuan perguruan
tinggi. Pada perguruan tinggi dosen memiliki peran sebagai informatory,
yakni pemberi informasi kepada mahasiswa, sebagai transmitter yaitu
orang yang memindahkan pengetahuan atau sebagai pengajar, sebagai motivator yakni
orang yang memberi dorongan semangat para mahasiswa untuk berubah menuju
kebaikan, dan sebagai fasilitator yaitu orang yang memberi kemudahan
mahasiswa dalam mendapatkan ilmu melalui sharing dan bertukar pendapat.[11]
Setelah
memaparkan peran dan fungsi mahasiswa dan dosen dalam mewujudkan masyarakat
madani (civil society), dapat di tarik kesimpulan bahwa antara mahasiswa
dan dosen memiliki kesinambungan yang kuat dan saling berkaitan satu sama lain.
Dosen tidak dapat berdiri sendiri tanpa mahasiswa, begitu pula mahasiswa tidak
dapat berdiri sendiri tanpa dosen. Kampus sebagai tempat lahirnya calon kelas
menengah harus memahami arti kehadiran keduanya, melalui koordinasi dan keikutsertaan
mahasiswa dalam kegiatan senat dan kegiatan ekstra kampus. Hal ini dikarenakan,
dunia kampus dan mahasiswa merupakan ladang pengkaderan terbaik demi lahirnya
calon intelektual dan cendekiawan yang dapat meneruskan tongkat estafet para
pendahulunya demi terciptanya masyarakat madani, yang adil, makmur, dan
bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA
__________, Peran Mahasiswa dalam Pembangunan ,Disampaikan dalam PPA UMS 2007/2008,
(artikel on-line); tersedia di http://agus34drajat.files.wordpress.com/2011/09/peran-mahasiswa-dalam-pembangunan.pdf ; Internet diunduh pada 26 Desember 2012
Albayumi, Fuad , Masyarakat Madani (Civil Society) dan
Demokratisasi Politik di Indonesia Pasca
Orde Baru, Aspirasi, Vol. XVII, No.1 Juli 2007 (jurnal on-line) ; tersedia
di http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/171072132.pdf ; Internet diunduh pada 20 Desember 2012.
Martha, Peran Perguruan Tinggi dalam Membentuk Pribadi
, (Artikel on-line) ; tersedia di http://www.stiks-tarakanita.ac.id/files/Jurnal%20Vol.%201%20No.%201/51.%20Peran%20Perguruan%20Tinggi%20dalam%20Membentuk%20Pribadi%20(Martha).pdf; Internet diunduh pada 26 Desember 2012.
Raharjo, Dawam, Masyarakat Madani : Agama,
Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, Jakarta : LP3ES, 1999.
Tim Kurikulum KMI, Pendidikan dan
Pengajaran II, Ponorogo : Darussalam Press, 2009.
Tilaar, H.A.R, Pendidikan, Kebudayaan, dan
Masyarakat Madani Indonesia, Bandung : Rosda, 1999.
Ubaedillah, Ahmad & Rozak, Abdul, Pancasila,
Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta : Predana Media Group, 2012.
[1] Fuad Albayumi. “Masyarakat
Madani (Civil Society) dan Demokratisasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru”, Aspirasi,
Vol. XVII, No.1 Juli 2007 (jurnal on-line) , hlm. 22.; tersedia di isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/171072132.pdf ; Internet diunduh pada 20 Desember
2012.
[3] Dawam Raharjo, “Masyarakat
Madani : Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial”, ( Jakarta : LP3ES,
1999), h. 232-233.
[4] Bagian Kurikulum KMI, “Pendidikan
dan Pengajaran II”,( Ponorogo : Darussalam Press, 2009) h. 1-2
0 komentar:
Posting Komentar