Setelah sekian lama tak menulis di blog, Al-hamdulillah aku punya
waktu luang mengoreskan tintaku di blog tercinta. Tulisan kali ini bercerita
tentang perasaan hatiku dan idealismeku. Tentang pertentangan antara komitmen
dan rasa kagum.
Ada kegalauan, ada kegundahan, ada kerisauan yang terpercik di
lubuk hatiku terdalam. Aku heran, aku bingung, dan aku bertanya-tanya kenapa
hal yang dulunya telah usang ini muncul kembali, kenapa hal yang di simpan jauh
di dalam perlahan naik ke atas. Entah bagaimana lagi menjelaskannya, aku
sendiri bingung.
Jujur aku akui, diriku
mengagumi seseorang wanita yang lebih junior dibandingkan diriku. Sebut saja
namanya qitthun (nama samaran), dirinya berasal dari dearah
tempat keluarga ayahku berasal. Sebuah pulau yang terpisah jauh dengan tempat
aku dilahirkan dan dibesarkan, Kalimantan. Namun, aku pernah mengunjungi daerah
ini, beberapa belas tahun yang lalu saat menjenguk almarhum kakekku yang
terkulai lemah dengan penyakitnya.
Kekaguman ini terlahir tiada lain disebabkan tekadnya yang kuat
dan ketangguhannya. Di samping itu, masih banyak aspek lain yang membuat diriku
kagum serta suka. Mulai dari kemandiriannya, keuletan, kecerdasan, dan tentunya
paras dirinya. Rasa kekagumanku ini pernah aku paparkan empat mata ke temanku
beberapa saat setelah pelatihan organisasiku.
“Bro, ini bocah lumayan dah bisa nih digarap,” ucapku sambil
tertawa kepada Rizki.
“Ya udah kanda, langsung aja sikat !!” balasnya
“Wah, jangan disikat broh. Disikat itu kasar, mendingan dibelai
hahaha,” aku mulai tertawa lagi.
“Okelah terserah, saya mah percaya betul sama kanda ini, “ jawab
temanku yang bermata sipit ini.
Setelah percakapan di atas, aku akui terjadi komunikasi yang
intents antara diriku dan qitthun. Namun, seiring idealismeku yang telah
tertanam kuat dan kesibukan di sana sini. Komunikasi yang intents tersebut
mulai pudar, sama seperti pudarnya kelam malam seiring terbitnya mentari. Tak
hanya itu, aku membaca makro mimik dari gerak-geriknya pada saat menemuiku. Si
qitthun seakan menghindar dan menjauh, entah apa alasannya aku juga
bertanya-tanya. Akhirnya, diriku memutuskan banting stir dan mengurungkan
niatku.
Aku pendam dalam-dalam rasa
yang pernah lahir itu, dan aku lempar rasa tersebut jauh ke sebuah tempat. Yah,
benar saja rasa itu mulai lenyap perlahan dan terbang entah kemana, sama
seperti terbangnya balon oksigen ke angkasa. Lenyapnya rasa tersebut, ditambah
dengan padatnya tugas serta jadwal pekuliahan. Di samping itu, aku mengembang
sebuah amanah besar sebagai ketua panitia pelaksanaan perlatihan jurnalistik
dasar. Rasa yang sempat pernah terhimpun banyak itupun mulai luntur.
Seiring berjalannya hari,
minggu, dan bulan aku pun mulai menikmati segala rutinitasku yang cukup
menumpuk. Akan tetapi, perumpamaan balon tersebut benar terjadi pada diriku.
Sebuah balon oksigen yang terbang ke atas akan segera turun seiring kadar
oksigen yang habis. Maka, balon tersebut turun kembali ke bumi, dan rasa itu
lahir kembali. Diriku kembali bingung seraya bekecambuk ribuan bahkan ratusan
pertanyaan mengapa ia kembali? Apakah aku yang memunculkannya atau rasa itu
sendiri yang mulai balik dan berkeliaran di sekitar otakku.
Kemunculan kedua ini bahkan
lebih parah dan diluar perkiraanku, aku mulai mengambil kepingan-kepingan
informasi mengenainya. Layaknya wartawan investigasi, aku mencari informasi
yang sulit untuk didapat dan perlu kerja ekstra untuk mengumpulkannya. Bahkan,
teman-teman sehimpunan mulai mengendus gerak gerikku, dan akhirnya isu tersebut
muncul dan menguap. Teman-teman mulai membicarakn hal ini, mensetting berbagai
cara biar aku mulai bergerak dan mengambil sikap.
Isu mulai menguap, ibarat
makanan yang lezat aromanya menyebar menusuk sepasang lubang kecil di alat
penciuman. Bukannya tambah semangat, justru aku tambah malas dan kesal dengan
teman-teman, hingga akhirnya aku mengerutui diriku sendiri atas kemunculan rasa
ini.
Permasalahan kemunculan kedua ternyata tak jauh berbeda dengan
kemunculan pertama, masih dengan masalah dan komitmenku. Idealismeku diuji,
integritasku dipertanyakan, janjiku akan diminta, komitmenku harus dibuktikan
apakah aku harus melanjutkan atau biarkan mengambang untuk lenyap lagi entah ke mana.
DAN AKHIRNYA AKU MEMUTUSKAN UNTUK MENGGANTUNGKAN HAL INI BIARLAH
WAKTU YANG MENJAWAB,
BIARLAH KEGIATAN YANG AKAN MEMPERTEGAS,
DAN TENTUNYA BIAR TUHAN PEMILIK LANGIT TAK BERTIANG MENUNJUKAN
JALANNYA
AKU GANTUNGKAN HAL INI……. !!!
KITA LIAT AJA NANTI :)
0 komentar:
Posting Komentar