Senin, 09 Juni 2014

Filled Under: ,

Menggantung Tak Jelas

21.56


Setelah sekian lama tak menulis di blog, Al-hamdulillah aku punya waktu luang mengoreskan tintaku di blog tercinta. Tulisan kali ini bercerita tentang perasaan hatiku dan idealismeku. Tentang pertentangan antara komitmen dan rasa kagum.

Ada kegalauan, ada kegundahan, ada kerisauan yang terpercik di lubuk hatiku terdalam. Aku heran, aku bingung, dan aku bertanya-tanya kenapa hal yang dulunya telah usang ini muncul kembali, kenapa hal yang di simpan jauh di dalam perlahan naik ke atas. Entah bagaimana lagi menjelaskannya, aku sendiri bingung.

 Jujur aku akui, diriku mengagumi seseorang wanita yang lebih junior dibandingkan diriku. Sebut saja namanya qitthun (nama samaran), dirinya berasal dari dearah tempat keluarga ayahku berasal. Sebuah pulau yang terpisah jauh dengan tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, Kalimantan. Namun, aku pernah mengunjungi daerah ini, beberapa belas tahun yang lalu saat menjenguk almarhum kakekku yang  terkulai lemah dengan penyakitnya.

Kekaguman ini terlahir tiada lain disebabkan tekadnya yang kuat dan ketangguhannya. Di samping itu, masih banyak aspek lain yang membuat diriku kagum serta suka. Mulai dari kemandiriannya, keuletan, kecerdasan, dan tentunya paras dirinya. Rasa kekagumanku ini pernah aku paparkan empat mata ke temanku beberapa saat setelah pelatihan organisasiku.

“Bro, ini bocah lumayan dah bisa nih digarap,” ucapku sambil tertawa kepada Rizki.
“Ya udah kanda, langsung aja sikat !!” balasnya
“Wah, jangan disikat broh. Disikat itu kasar, mendingan dibelai hahaha,” aku mulai tertawa lagi.
“Okelah terserah, saya mah percaya betul sama kanda ini, “ jawab temanku yang bermata sipit ini.

Setelah percakapan di atas, aku akui terjadi komunikasi yang intents antara diriku dan qitthun. Namun, seiring idealismeku yang telah tertanam kuat dan kesibukan di sana sini. Komunikasi yang intents tersebut mulai pudar, sama seperti pudarnya kelam malam seiring terbitnya mentari. Tak hanya itu, aku membaca makro mimik dari gerak-geriknya pada saat menemuiku. Si qitthun seakan menghindar dan menjauh, entah apa alasannya aku juga bertanya-tanya. Akhirnya, diriku memutuskan banting stir dan mengurungkan niatku.

 Aku pendam dalam-dalam rasa yang pernah lahir itu, dan aku lempar rasa tersebut jauh ke sebuah tempat. Yah, benar saja rasa itu mulai lenyap perlahan dan terbang entah kemana, sama seperti terbangnya balon oksigen ke angkasa. Lenyapnya rasa tersebut, ditambah dengan padatnya tugas serta jadwal pekuliahan. Di samping itu, aku mengembang sebuah amanah besar sebagai ketua panitia pelaksanaan perlatihan jurnalistik dasar. Rasa yang sempat pernah terhimpun banyak itupun mulai luntur.

 Seiring berjalannya hari, minggu, dan bulan aku pun mulai menikmati segala rutinitasku yang cukup menumpuk. Akan tetapi, perumpamaan balon tersebut benar terjadi pada diriku. Sebuah balon oksigen yang terbang ke atas akan segera turun seiring kadar oksigen yang habis. Maka, balon tersebut turun kembali ke bumi, dan rasa itu lahir kembali. Diriku kembali bingung seraya bekecambuk ribuan bahkan ratusan pertanyaan mengapa ia kembali? Apakah aku yang memunculkannya atau rasa itu sendiri yang mulai balik dan berkeliaran di sekitar otakku.

 Kemunculan kedua ini bahkan lebih parah dan diluar perkiraanku, aku mulai mengambil kepingan-kepingan informasi mengenainya. Layaknya wartawan investigasi, aku mencari informasi yang sulit untuk didapat dan perlu kerja ekstra untuk mengumpulkannya. Bahkan, teman-teman sehimpunan mulai mengendus gerak gerikku, dan akhirnya isu tersebut muncul dan menguap. Teman-teman mulai membicarakn hal ini, mensetting berbagai cara biar aku mulai bergerak dan mengambil sikap.

 Isu mulai menguap, ibarat makanan yang lezat aromanya menyebar menusuk sepasang lubang kecil di alat penciuman. Bukannya tambah semangat, justru aku tambah malas dan kesal dengan teman-teman, hingga akhirnya aku mengerutui diriku sendiri atas kemunculan rasa ini.

Permasalahan kemunculan kedua ternyata tak jauh berbeda dengan kemunculan pertama, masih dengan masalah dan komitmenku. Idealismeku diuji, integritasku dipertanyakan, janjiku akan diminta, komitmenku harus dibuktikan apakah aku harus melanjutkan atau biarkan mengambang untuk lenyap lagi entah ke mana.

DAN AKHIRNYA AKU MEMUTUSKAN UNTUK MENGGANTUNGKAN HAL INI BIARLAH WAKTU YANG MENJAWAB,
BIARLAH KEGIATAN YANG AKAN MEMPERTEGAS,
DAN TENTUNYA BIAR TUHAN PEMILIK LANGIT TAK BERTIANG MENUNJUKAN JALANNYA

AKU GANTUNGKAN HAL INI……. !!!

KITA LIAT AJA NANTI :)


0 komentar:

Posting Komentar